Disinilah Kugoreskan Tinta dari Hati dan FikiranKu
Minggu, 09 Juni 2013
SEJARAH PENDIDIKAN (TAFSIR)
Sejarah Pendidikan
Kelompok 15 PAI 3C
Disusun Oleh:
Siti Puji Lestari (113111085)
Sofwatin Hidayah (113111086)
Syafa’atul Munawaroh (113111088)
I. Ayat dan Terjemah
A. Q.S. Al-Isra’ :76-77
• •
“76. Dan Sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja.
77. (Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan kami itu.”
B. Q.S. Al-Ahzab :38 & 62
• • • ••
“38. Tidak ada suatu keberatanpun atas nabi tentang apa yang Telah ditetapkan Allah baginya. (Allah Telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang Telah berlalu dahulu. dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku,”
• •
“62. Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang Telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.”
II. Penjelasan Isi Tafsir Ayat Terkait
A. Q.S. Al-Isra’:76-77
Ayat 76 ini mengungkapkan bagaimana berbagai tekanan yang dihadapi Rasulullah dan kaum Muslimin hamper berhasil membuat beliau tidak tahan lagi berdiam di Mekkah, apalagi satelah orang-orang kafir Quraisy membuat rencana untuk membunuhnya. Peristiwa itulah yang melatar belakangi terjadinya peristiwa Hijrah ke Madinah.
Allah menyampaikan ancaman-Nya melalui Rasulullah kepada kaum kafir Quraisy bahwa jika Nabi dan kaum Muslimin terusir dari Makkah, maka itu tidak akan dibiarkan oleh Allah. Dalam waktu singkat mereka akan dibinasakan Allah dan selanjutnya negeri Makkah akan dikuasai kembali oleh kaum Mukminin. Janji allah itu terbukti dengan terbunuhnya para pemimpin Quraisy dalam perang Badar yang terjadi pada tahun kedua sesudah Nabi Hijrah ke Madinah, dan ditaklukkannya kota Mekkah pada tahun ke-8 Hijrah.
Dalam ayat 77 ini dijelaskan tentang hokum-hukum allah yang berlaku umum, sebaimana yang telah dialami oleh para Rasul dan Nabi sebelumnya. Mereka mengalami tekana-tekanan yang berat dan diusir oleh kaumnya. Tetapi akhirnya, Allah memenangkan kaum Muslimin dan menghukum mereka yang ingkar. Demikian pula Rasulullah saw dan para pengikutnya, mereka tidak luput dari tekanan dan penganiayaan kaum musyrikin Mekkah. Namun, hal itu tidak memengaruhi keteguhan hati Rasulullah dan pengikut-pengikutnya, meskipun mereka terpaksa hhijrah. Janji kemenangan dari Allah akan dating pada waktunya, dan musuh-musuh Allah akan mengalami kekalahan yang besar.
Perlu dijelaskan bahwa hukuman dengan memusnakan mereka yang durhaka seperti yang terjadi pada kaum ‘Ad, Samud, kaum Lut, dan lain-lain yang dikenal dengan istilah azab al-isti’sal (hukuman dengan pemusnahan) tidak diperlakukan lagi setelah Rasulullah Muhammad saw diutus karena beliau membawa rahmat ke seluruh umat manusia, dan adanya harapan bahwa kaum kafir Quraisy atau keturunannya akan masuk Islam.
Allah SWT berfirman :
“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun”. (Q.S. Al-Anfal :33)
B. Q.S. Al-Ahzab :38 & 62
Pada ayat 38 ini, Allah menguatkan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu bahwa tidak ada suatu keberatan apa pun atas Nabi saw apa yang telah menjadi ketetapan Allah baginya untuk mengawini perempuan bekas istri anak angkatnya setelah dijatuhi talak oleh suaminya dan habis masa idahnya. Orang-orang Yahudi sering mencela Nabi Muhammad saw karena mempunyai istri yang banyak, padahal mereka mengetahui bahwa nabi-nabi sebelumnya ada yang lebih banyak istrinya seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.
Nabi Muhammad diperintahkan Allah supaya tidak menghiraukan pembicaraan khalayak ramai sehubungan dengan pernikahan beliau dengan Zainab. Ketika Zaid telah menceraikan istrinya, Allah menikahkan Nabi saw dengan Zainab agar tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk menikahi bekas istri anak angkat apabila telah diceraikan. Ketetapan Allah tentang pernikahan Zainab dengan Nabi adalah suatu ketetapan yang sudah pasti.
Dalam ayat 62 ini menerangkan bahwa, sunah Allah yang telah berlaku atas orang-oarng yang terdahulu sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw akan berlaku pula bagi generasi yang akan datang kemudian. Hal itu tidak mungkin berubah dan pasti berlaku.
III. PEMBAHASAN
A. Q.S. Al-Isra’:76-77
Kata layastafizzunaka terambil dari kata fazza yang berarti meninggalkan tempat. Penambahan huruf sin dan ta’ mengandung makna keterpaksaan. Dengan demikian, kata layastafizzunaka berarti untuk memaksamu meninggalkan tempat, yakni kota Mekkah. Kata istifzaz biasa digunakan untuk makna memancing amarah sehingga bertindak keliru. Ayat ini menegaskan bahwa mereka hamper memaksa Nabi Muhammad saw. Keluar dengan jalan memancing amarah beliau, tetapi itu tidak terlaksana sehinggabeliau tidak meninggalkan Mekkah pada waktu yang mereka inginkan. Nabi saw tetap bermukim di Mekkah menghadapi penganiayaandan rencana jahat merekawalau beliau mengizinkan sekian banyak sahabat beliau berhijrah ke Ethiopia. Nanti, setelah Allah mengizinkan beliau berhijrah dan mereka membatalkan rencana pengusiran dengan rencana pembunuhan, barulah Allah mengizinkan beliau berhijrah. Memang, izin ini lahir karena permusuhan kaum musyrikin sehingga mereka jugalah yang menjadi penyebab hijrahnya Nabi saw, tetapi rencana pengusoran pada waktu yang mereka inginkan tiak terlaksana dan pemaksaan yang menjengkelkan itu tidak berhasil mengeluarkan Nabi saw dari Mekkah, walaupun seperti bunyi ayat ini, hal tersebut hampir saja berhasil. Demikian Allah swt, memelihara Nabi saw.menghadapi rencana jahat kaum musyrikin dan menggagalkannya setelah ayat yang lalumenguraikan bagaimana usul-usul buruk mereka pun tertampik karena kekuatan pribadi beliau serta pemeliharaan Allah swt.
Ayat ininmengisyaratkan bahwa suatu ketika Nabi saw akan meninggalkan kota Mekkah, dalam bentuk hijrah Nabi saw, dan itulah awal keruntuhan kekuasaan kaum musyrikin.
Ayat di atas pada hakikatnya berbicara tentang sunnatullah hukum-hukum kemasyarakatan sebagai bunyi lanjutannya “Dan tidak akan engkau dapati perubahan bagi sunnah ketetapam Kami itu” karena itu, kalimat “Sepeninggalmu mereka tidak ninggal, melainkan sebentar saja”, tidak boleh dipahami sebagai kematian orang-orang, tetapi kematian sistem. Orang-oarang yang hidup dalam masyarakat tersebut tetap bertahan hidup, tetapi sistem kemasyarakatan dan pandangan Jahiliah yang mereka anut menurut ayat yang ditafsirkan ini sebentar lagi akan runtuh. Dan ini terbukti kebenarannya setelah sekitar 10 tahun dari Hijrah Rasul saw. Dari Mekkah. Ayat ini merupakan salah satu bukti bahwa Al-Qur’an adalah kitab pertama yang menjelaskan hukum-khukum kemasyrakatan bahwa disamping ajal perorangan, ada juga ajal bagi masyarakat.
B. Q.S. Al-Ahzab :38 & 62
Ibn Asyur menulis bahwa ayat ini adalah penjelasan tambahan tentang persamaan Nabi Muhammad saw. Dalam hal kebolehan mengawini janda bekas anak angkat, dan bahwa hal itu tidak mengurangi nilai kenabian., karena melakukan hal-hal mubah merupakan kebiasaan para nabi-nabi sebelum beliau. Nabi, apabila menginginkan sesuatu yang bersifat mubah, tidak ada halangan baginya untuk melakukannnya karena dalam masalah ini ia tidak harus bermujahadah, yakni menekan dorongan keinginannya, dalam hal-hal yang tidak diperintahkan Allah untuk melakukan mujahadah terhadapnya. Dia justru hendaknya menggunakan potensinya untuk bermujahadah menangkal apa yang dilarangan Allah.
Kawin merupakan sunnah para Nabi. Nabi Ibrahim as. kawin, bahkan konon Nabi Daud dan Sulaiman mempunyai banyak istri. Karena itu, bukanlah suatu yang aib bila Nabi saw pun kawin.
Firman-Nya melukiskan Nabi-Nabi yang lalu sebagai : “Mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah” menunjukkan bahwa rasa takut yang dialami Nabi Muhammad saw., sebagaimana dilukiskan oleh ayat yang lalu, bukanlah takut menyangkut diri beliau, tetapi takut- yang pernah dialami oleh Nabi-Nabi yang lalu- yakni menyangkut dampak buruk terhadap ajaran Ilahi yang mereka sampaikan. Takut yang dialami Nabi Muhammad saw adalah rasa takut yang lahir dari dugaan sikap negatif kaum munafikin. Atas dasar itu, firman-Nya di atas sama sekali bukan sindiran kepada Nabi Muhammad saw bahwa satu ketika beliau pernah takut sedang Nabi-Nabi yang lain tidak pernah takut.
Sedangkan dalam ayat 62 bahwa kata sunnah antara lain berarti kebiasaan. Sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Dalam Al-Qur’an kata sunnatullah dan yang semakna dengannya, seperti sunnatuna, sunnah al awwalin, terulang sebanyak tiga belas kali. Kesemuanya berbicara dalam konteks kemasyarakatan. Perlu diingat bahwa apa yang dinamai hukum-hukum alam pun adalah kebiasaan-kebiasaan yang dialami oleh manusia.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, dapat di simpulkan bahwa sejarah pendidikan dalam hal ini adalah tentang sunnatullah (hukum-hukum kemasyarakatan). Sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Kesemuanya berbicara dalam konteks kemasyarakatan dan semua yang dinamai hukum-hukum alam pun adalah kebiasaan-kebiasaan yang dialami oleh manusia pada masa Nabi terdahulu.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid V. Jakarta : Percetekan Ikrar Mandiriabadi. 2010
----------------------------- Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid VIII. Jakarta : Percetekan Ikrar Mandiriabadi. 2010
Shihab,M. Quraish. Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- Qur’an) volum 7. Jakarta : Lentera Hati. 2002
------------------------Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- Qur’an) volume 11, (Jakarta : Lentera Hati, 2002
PENDIDIKAN IBADAH (TAFSIR)
PENDIDIKAN IBADAH
Makalah
Di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Tafsir Tarbawy II
Dosen pengampu: Dr. Musthofa Rahman, M.Ag
Disusun Oleh : Kelompok 6 PAI-4C
1. Syafa’atul Munawaroh (113111088)
2. Deavy Nur Zamielle R.S (113111092)
3. Ridwan Aziz (113111081)
4. Anifuddin (113111037)
5. Andi Wibowo (113111036)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I. Ayat dan Terjemahnya
A. Q.S. Al-Anbiya: 1
••
Artinya: “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)”.(Q.S.Al-Anbiya: 1)
B. Q.S. Al-Isra’: 44
Artinya: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”.(Q.S.Al-Isra’:44)
C. Q.S. Al-Hajj: 18
•• •
•
Artinya: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”.(Q.S.Al-Hajj: 18)
D. Q.S. Al-Muzammil: 3
Artinya: “(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit”.(Q.S.Al-Muzamil: 3)
II. Tafsir dan Penjelasan Ayat
A. Q.S.Al-Anbiya: 1
Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya ayat ini merupakan permulaan yang sangat kuat dan menggoncangkan orang-orang yang lalai. Hisab telah dekat, sementara mereka tetap lengah dan lalai. Ayat-ayat telah dipaparkan, namun mereka malah menghindar dari petunjuk. Perkara itu adalah sungguh-sungguh, namun mereka tidak menyadari bahaya perkara itu. Setiap perkara baru datang dari Al-Qur’an, mereka menyikapinya dengan main-main dan ejekan. Mereka mendengarnya, namun mereka meremehkannya dan mempermainkannya.
Ini adalah peringatan dari Allah swt. Akan semakin dekatnya hari kiamat. Sedangkan manusia dalam keadaan lalai terhadap hari itu, an-Nasa’i berkata dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah saw. Bersabda tentang “sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling” yaitu di dunia.
Didahulukannya penjelasan tentang dekatnya hari ini, sedang pembicaraan berlangsung bersama orang-orang musyrik yang mengingkari pembangkitan, menunjukkan bahwa kebangkitan itu tidak diragukan lagi, pasti terjadi. Selain itu, apa yang diharapkan untuk dijelaskan, biasanya dijelaskan secara tegas implikasinya, berupa keadaan dan peristiwa yang menakutkan, seperti penghisaban yang menggoncangkan jiwa.
Kaum musyrikin itu lalai dan tidak mau berfikir tentang nasib jelek yang akan mereka temui kelak pada hari hisab dan hari pembalasan itu. Padahal, dengan akal sehat semata, orang dapat meyakini, bahwa perbuatan yang baik sepantasnya dibalas dengan kebaikan, dan perbuatan yang jahat sepatutnya dibalas dengan azab dan siksa. Akan tetapi mereka itu tidak mau memikirkan akibat buruk yang akan mereka terima di akhirat kelak, maka mereka senantiasa memalingkan muka dan menutup telinga, setiap kali mereka diperingatkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi ancaman dan sebagainya.
B. Q.S.Al-Isra’: 44
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa langit ke tujuh, bumi, dan segala makhluk yang menjadi isinya, semuanya menyucikan Allah dari tuduhan dan anggapan orang musyrik, membesarkan-Nya dan mengakui keesaan-Nya, baik dalam kerububiyahan maupun dalam keuluhiyahan-Nya.
Tidak ada satu makhluk pun yang tidak bertasbih kepada Allah serta memuji-Nya. Tegasnya, semua makhluk menunjuk kepada wujud Allah yang wajib ada-Nya, kepada kekuasaan-Nya, serta kesucian-Nya dari semua sifat yang baru.
Para Ulama’ ahli kalam mengatakan bahwa Allah, Pencipta alam, adalah wajibul wujud (wajib ada-Nya), sedang makhluk-makhluk disebut mumkinat al-wujud (yang mungkin adanya). Al-Mumkinat ini dibagi menjadi berakal dan yang tidak berakal. Makhluk yang berakal mengakui keesaan Allah karena mereka dapat memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di langit, di bumi, dan semua benda-benda yang ada pada keduanya. Oleh karena itu, bibir manusia yang beriman selalu bertasbih memuji Allah. Sedang makhluk yang tidak berakal tunduk pada ahkam kauniyah (yaitu hukum-hukum alam yang diciptakan Allah yang berlaku terhadap benda-benda alam itu). Mereka bertasbih memuki Allah dengan berperilaku sesuai dengan keadaanyang di takdirkan bagi mereka masing-masing.
Allah lalu menjelaskan bahwa kaum musyrikin Mekah tidak mengetahui bahwa benda-benda alam dan semua makhluk yang ada bertasbih memuji-Nya, karena mereka tidak mau mengakui keesaan Alla. Bahkan, mereka mengadakan tuhan-tuhan yang lain yang dipersekutukan dangan Allah. Kaum musyrikin tidak mau melihat dan memikirkan ketundukan alam semesta dan segala benda-benda serta makhluk di bumi kepada hukum-hukum alam itu, sebagai pencerminan bagi tasbih mereka memuji Allah swt.
Ayat ini secara simbolik menunjukkan bahwa tasbihnya benda-benda di alam secara fisik adalah kepatuhannya (secara sukarela) terhadap hukum Allah yang mengaturnyaatau disebut juga dengan sunatullah. Hukum Allah iyu dikenal manusia sebagai hukum alam atau kaidah ilmu pengetahuan yang diketahui manusia (para ahli) dan berlaku pada semua makhluk termasuk manusia (secara fisik).
Adapun yang dimaksud dengan “kamu sekalian tidak memahami tasbih mereka” adalah sebagian besar manusia tidak mengerti sunatullah atau hukum alam yang hanya dimengerti oleh para ahlinya. Jadi hanya orang yang berakal budi dan berpengetahuanlah yang bisa mengerti hukum alam dan demikian juga bisa mengerti akan tasbih dari benda-benda antara langit yang tujuh dan bumi semuanya.
Di akhir ayat, Allah swt menegaskan bahwa Dia Maha Penyantun, Dia menangguhkan kalian, dan tidak segera menghukum atas kelalaian dan kebodohanmu yang buruk mengenai tasbih tersebut karena kalian menyekutukan Allah denga selain-Nya, dan kamu menyembah selain Allah di samping menyembah-Nya. Dan diantara ampunan Allah pada kalian adalah, bahwa dia tidak menghukum orang yang mau bertaubat di antara kamu.
C. Q.S.Al-Hajj: 18
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dialah yang berhak diibadahi, Dia Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena segala sesuatu, baik secara taat atau terpaksa, harus sujud kepada keagungan-Nya. Dan sujudnya sesuatu secara taat atau terpaksa tersebut merupakan kekhususan bagi-Nya. Dari kalangan Malaikat yang berada di segala penjuru langit dan makhluk-makhluk di segala penjuru, yang terdiri dari manusia, jin, binatang-binatang melata, dan burung tak ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.
Sujud dalam ayat ini berarti mengikuti kehendak dan mengikuti hukum-hukum yang telah digariskan dan ditetapkan Allah. Dapat pula berarti menghambakan diri, beribadat dan menjalankan segala yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala yang dilarang. Allah menciptakan jagat raya ini dan mengaturnya dengan hukum dan ketentuan-Nya.
Maka, tampaklah manusia sangat aneh dan menyimpang sendiri dalam bertasbih memuji-Nya. Disinilah Allah menetapkan barang siapa yang dihinakan atau direndahkan oleh Allah, ditetapkan akan celaka karena kekufuran dan kedurhakaannya. Maka tidak seorang pun yang dapat membahagiakannya, sebab semua urusan itu berada di tangan Allah. Dia memberikan taufik-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan menghinakan siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah berbuat untuk makhluk-Nya apa yang Dia kehendaki. Dia menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya dan memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya pula.
D. Q.S.Al-Muzammil: 3
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa Nabi SAW disuruh memilih di antara sepertiga, setengah, dan dua pertiga malam. Dan tidak ada halangan baginya untuk memilih di antara yang tiga itu. Yakni, seperduanya menjadi badal lafadz qoliilan, pengrtian sedikit ini bila dibandingkan dengan keseluruhan waktu malam. Dijelaskan pula didalam tafsir Al Maraghi bahwasanya bangun untuk beribadah pada waktu malam itu amat berat dijalankan, akan tetapi yang demikian itu lebih mantap bagi bacaan al Qur’an, karena hadirnya hati, sedang bacaan al Qur’an waktu siang itu disertai kesibukan jiwa dengan segala keadaan dunia, kemudian, beliau diperintah untuk menyebutkan nam Tuhanya, mengosongkan diri untuk beribadah dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya.
E. Analisis Ketarbiyahan
Massa atau waktu bagi manusia untuk hidup didunia ini tidaklah kekal, setelah kehidupan pasti ada kematian. Mau tidak mau seorang manusi tetaplah akan mati, untuk itu al Qur’an menerangkan bahwa, manusia hendaknya senatiasa untuk mengingat mati, karena dengan hal tersebut akan mendorong seorang insan lebih antissias meningkatkan frekwensi ibadahnya. Akan tetapi banyak manusia yang lupa dan berpaling. Manusia memang diciptakan dengan disertai sifat lupa maka tak heran jika sering kali manusia itu melalaikan beberapa perkara ataupun kewajibanya abik kewajibannyua terhadap Tuhanya ataupun terhadap sesamanya dan dirinya sendiri.
Beribadah pada Allah SWT dapat selalu dilaksanakan setiap saat dan tempat, diantara ibadah tersebut adalah bertasbih dan mengingat Allah SWT. Hal ini dikaenakan bukan hanya manusia yang senantiasa bertasbih, akan tetapi gunung, hewan, tumbuhan sekalipin ternyata semua bertasbih kepada Allah. Setiadaknya hal ini menjadi acuan bagi kita sebagai manusia untuk beribadah kepada Allah.
F. Kesimpulan
Dalam Ayat Q.S.Al-Anbiya: 1 menjelaskan bahwa sesungguhnya ayat ini merupakan permulaan yang sangat kuat dan menggoncangkan orang-orang yang lalai. Hisab telah dekat, sementara mereka tetap lengah dan lalai. Ayat-ayat telah dipaparkan, namun mereka malah menghindar dari petunjuk.
Dalam Q.S.Al-Isra’: 44 Allah menjelaskan bahwa langit ke tujuh, bumi, dan segala makhluk yang menjadi isinya, semuanya menyucikan Allah dari tuduhan dan anggapan orang musyrik, membesarkan-Nya dan mengakui keesaan-Nya, baik dalam kerububiyahan maupun dalam keuluhiyahan-Nya.
Dalam Q.S.Al-Hajj: 18, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dialah yang berhak diibadahi, Dia Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena segala sesuatu, baik secara taat atau terpaksa, harus sujud kepada keagungan-Nya. Dan sujudnya sesuatu secara taat atau terpaksa tersebut merupakan kekhususan bagi-Nya. Dari kalangan Malaikat yang berada di segala penjuru langit dan makhluk-makhluk di segala penjuru, yang terdiri dari manusia, jin, binatang-binatang melata, dan burung tak ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.
III. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008
Abu Bakar, Bahrun, Terjemahan Tafsir Jalalain, Bandung: sinar baru Algensindo, 2012
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Mekar, 2004.
Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur jilid III, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2000
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V, Jakarta: Lentera Abadi, 2010
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid VI, Jakarta: Lentera Abadi, 2010
Musthafa Al-Maraghi, Ahmad, Tafsir Al-Maraghi Jilid XV, Semarang: Toha Putra,1988
, Tafsir Al-Maraghi Jilid XVII, Semarang: Toha Putra, 1989
_______________________ , Tafsir Al-Maraghi Jilid 29, Semarang: Toha Putra,1988
Surin, Bachtiar, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, Bandung: Fa-SUMATRA, 1976
Quthb, Sayyid, Fi Zhilalil Qur’an Jilid VIII, Beirut: Darusy Syuruq, 1992
PESANTREN ABAD 21
SEJARAH PESANTREN ABAD 21 M
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Islam di Indonesia
Dosen Pengampu: Drs. H. Mat Solikin, M.Ag
Disusun Oleh :
Syafa’atul Munawaroh 113111088
Muhammad Muammar Khadafi 113111131
Kelompok 5 PAI-4C
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
SEJARAH PESANTREN ABAD 21 M
I. PENDAHULUAN
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.
Pada zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren.
Sebagai lembaga pendidikan pertama yang ada di Indonesia, pesantren jelas memiliki jasa yang besar dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Banyak tokoh-tokoh pahlawan nasional yang dilahirkan dari pesantren yang mempunyai jasa besar bagi kemerdekaan Indonesia dan telah mengharumkan nama bangsa. Di sini tampak bahwa pada masa sebelum kemerdekaan, pesantren telah menempatkan posisinya secara tepat dalam proses pembangunan bangsa ini.
Pada masa sekarang dengan adanya berbagai perubahan di segala bidang, pesantren perlu berbenah diri, terutama dalam bidang pendidikan. Masa depan pesantren adalah tergantung kepada kemampuan para kiai untuk menegaskan identitas pesantren sebagai sistem pendidikan yang didominasi ulama (ulama dominated educational system) dan dalam waktu yang bersamaan menegaskan perannya dalam mendukung dan menyeimbangkan program pendidikan nasional.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana sejarah pesantren abad 21 M?
B. Bagaimana perkembangan pesantren pada abad 21M?
C. Bagaimana peran pesantren pada abad 21 M?
D. Bagaimana kondisi pesantren pada abad 21 M?
III. PEMBAHASAN
A. Sejarah Pesantren Abad 21 M
Rahadjo dalam penelitiannya mengemukakan bahwa sejak awal perkembangannya, pesantren mempunyai bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi khusus yang berlaku bagi pesantren. Namun dalam perkembangannya, tampak adanya pola umum sehingga pesantren dapat dikelompokkan kedalam dua tipe. Pertama, pesantren modern (khalafiyyah) yang ciri utamanya adalah: (1) gaya kepemimpinan pesantren cenderung korporatif; (2) program pendidikannnya berorientasi pada pendidikan keagamaan dan pendididkan umum; (3) materi pendidikan agama bersumber dari kitab-kitab klasik dan nonklasik; (4) pelaksanaan pendidikan lebih banyak menggunakan metode-metode pembelajaran modern dan inovatif; (5) hubungan antara kiai dan santri cenderung bersifat personal dan koligial; (6) kehidupan santri bersifat individualistik dan kompetitif.
Kedua, pesantren tradissonal (salafiyyah), yaitu pesantren yang masih terikat kuat oleh tradisi-tradisi lama. Beberapa karakteristik tipe pesantren ini adalah: (1) sistem pengelolaan pendidikan cenderung berada ditangan kiai sebagai pemimpin sentral, sekaligus pemilik pesantren; (2) hanya mengajarkan pengetahuan agama; (3) materi pendidikan bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab klasik atau biasa disebut kitab kuning; (4) menggunakan sistem pendidikan tradisional; (5) hubungan antara kiai, ustadz, dan santri cenderung bersifat Hirarkis; (6) kehidupan santri cenderung bersifat Komunal dan egaliter.
Pesantren sebagai tradisional Islam di Indonesia tentu telah mengalami proses perubahan dan modernisasi untuk dapat survive sampai hari ini. Eksistensi pesantren sampai saat ini bukan hanya karena memiliki potensi sebagai lembaga yang identik dengan makna keislaman, juga karakter yang eksistensi dalam lembaga pendidikan islam sebagai makna keaslian Indonesia untuk menghadapi modernisasi dan perubahan yang kiat cepat yang berdampak luas. Pesantren telah melakukan akomodasi dan konsensi-konsensi tertentu untuk menemukan pola yang dipandangnya cukup tepat tanpa mengorbankan esensi-esensi dasar dalam eksistensi pesantren.
Respon pesantren adalah dengan melakukan sistem modernisasi sistem pendidikan pesantren. modernisasi sebagai proses pergeseran sikap dan mentalitas untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Anggapan modernisasi berkonotasi dengan merosotnya nilai-nilai ruhani, tercabutnya budaya-budaya lokal. Namun harus diakui bahwa pada awalnya modernisasi membawa pada hal yang positif yaitu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pesantren modern merupakan salah satu agenda yang sangat penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Isu ini mulai muncul pada permulaan abad ke-20, seiring dengan modernisasi dan perubahan sosial di masyarakat muslim Indonesia. Pengertian pesantren modern dikontraskan dengan pesantren tradisional yang identik dengan kejumudan berpikir dan sistem pendidikan yang tidak efektif. Salah satu orang yang berjasa merumuskan konsep pesantren modern di Indonesia adalah K.H.Imam Zarkasyi, pendiri pondok modern Gontor. Dalam pandangannya, pesantren harus menerapkan kebebasan berpikir, manajemen efektif dan efisien, dan pengenalan santri terhadap modernitas.
Sikap yang tunduk secara membabi buta (taklid) pada mazhab tertentu sering kali mengakibatkan hilangnya kebebasan berpikir. Gontor sejak awal menyatakan tidak terlalu mementingkan mazhab tertentu dalam pelaksanaan ibadah keagamaan. Meskipun fiqih yang diajarkan kepada para santri adalah fiqih mazhab syafi’i, namun santri ditekankan untuk tidak terjebak dalam khilafiyah. Untuk menghindari hal ini, sudah lama Gontor mengajarkan fiqih perbandingan kepada para santrinya. Kitab yang menjadi rujukan untuk pelajaran ini adalah Bidayatul Mujtahid karangan Abu al-Walid Muhammad Ibn Rusy.
Sementara itu, manajemen yang efektif dan efisien diterjemahkan bahwa pesantren harus memiliki sistem administrasi dan keuangan yang baik, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut sistem manajemen pesantren diwujudkan dengan mengembangkan sistem kepemimpinan pesantren.
Pondok Modern Gontor semula bernama pondok pesantren Darussalam Gontor. Pemberian istilah modern menurut para pendirinya dikaitkan dengan sistem pendidikan dan metode pengajaran yang digunakannya. Pondok Modern Gontor berbeda denga pondok-pondok salaf pada umumnya. Di Gontor telah dipergunakan meja, kursi, papan tulis dan peralatan belajar yang lainnya. Kemodernan pondok Gontor juga dapat dilihat pada orientasi pendidikannya yang lebih mementingkan ilmu alat, seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris. Gontor juga tergolong pesantren yang tidak hanya berorientasi pada teori pelajaran bahasa, tetapi juga mempraktekkan bahasa arab dan inggris dilingkungan kampusnya sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.
Selain di gontor juga terdapat PPMP (Pondok Pesantren Modern Putri) Darur Ridwan. Didirikan pada tahun 1989 oleh K.H. Aslam Suryono Hadi, Darur Ridwan merupakan sebuah pondok pesantren modern khusus putri. Sebagai alumni Pondok Modern Darus Salam Gontor, K.H. Aslam memilih untuk mengikuti sistem pendidikan yang berasal dari Pondok Gontor tersebut, yaitu, sistem KMI di mana para santri mengikuti baik mata pelajaran agama maupun mata pelajaran umum.
Pesantren Darur Ridwan terletak di pinggir jalan raya desa Parangharjo, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dikelilingi oleh pohon-pohon, kebun berbunga dan sawah yang luas, suasana di pondok tersebut tenang dan damai. Tamu yang mengunjungi Darur Ridwan pertama masuk lewat lengkungan dengan tulisan PPMP ‘Darur Ridwan’ dan menghadap rumah keluarga kyai yang sederhana dan bersahaja. Nama pondok pesantren ini dipilih dan diberikan K.H. Aslam sendiri. “Kata darur ridwan berasal dari bahasa Arab. Arti daru adalah kampung dan arti ar-ridwan adalah rela. Jadi yang dimaksud dengan Darur Ridwan adalah kampung orang-orang yang rela karena Allah semata. Atau dimaksud dengan Ar-Ridwan adalah nama malaikat penjaga surga, jadi Darurridwan artinya ‘kampung surga’”.
Pada tahun ajaran 2002-2003 enam puluh santri bersekolah di pesantren Darur Ridwan, semuanya berasrama dan ada kurang-lebih dua puluh Ustad dan Ustadah yang mengajar, baik ajaran agama maupun ajaran umum. Biaya pendidikan pesantren dan asrama sekitar Rp. 80,000 per bulan, dengan tambahan Rp 50,000 pertama kali masuk dan ongkos keperluan-keperluan lain bagi seorang murid seperti buku text, seragam sekolah dan alat tulis.
Pesantren Darur Ridwan memiliki sawah wakaf seluas 610,000 da., yang diberikan kepada lembaga Darur Ridwan oleh kepala desa pada tahun 1995. Hasil dari sawah wakaf tersebut digunakan untuk keperluan pondok misalnya renovasi bangunan atau perlengkapan perpustakaan dan lain lain.
Tujuan pondok pesantren Darur Ridwan adalah untuk membina ketrampilan kemandirian para santri. Ada dua motto utama, yaitu “tanya dirimu sendiri” dan “bantu dirimu sendiri”. Menurut pekan perkenalan yang disampaikan kepada santri oleh Pak Aslam setiap awal tahun ajaran baru, “ajaran yang utama di dalam pondok pesantren ialah “self help”, atau “membantu diri sendiri”. Para santri diberitahu bahwa “pemuda-pemuda yang terdidik menolong diri sendiri dapat menghadapi masa depan dengan penuh harapan, jalan hidup terbentang luas di mukanya.” Motto ini dipeluk sepenuhnya oleh para santri dalam hidupnya sendiri dan juga dalam hidupnya sebagai anggota masyarakat pondok pesantren. Di pondok, oleh karena disiplin yang tinggi sekali, mereka sanggup menyelenggarakan sendiri kegiatan-kegiatannya dan tidak perlu diawasi para guru. Contohnya, dengan Organisasi Santri Pondok Pesantren Modern Putri (OSPPMP), santri menyelenggarakan sendiri aktivitas seperti olahraga, pemeliharaan lingkungan asrama, kesenian dan muhadloroh.
B. Perkembangan Pesantren pada Abad 21 M
Di dalam perkembangannya, pondok pesantren tidaklah semata-mata tumbuh atas pola lama yang bersifat tradisional yaitu sorogan, wetonan dan bandongan. Melainkan dilakukan suatu inovasi dalam pengembangan suatu sistem. Di samping pola tradisional yang termasuk ciri-ciri pondok-pondok salafiyah, maka gerakan pembaharuan telah memasuki derap perkembangan pondok pesantren.
Dalam pengembangannya, ada tiga sistem yang diterapkan pada pondok pesantren yaitu pertama, sistem klasikal; pola penerapan sistem klasikal ini adalah dengan pendirian-pendirian sekolah-sekolah baik kelompok yang mengelola pengajaran agama maupun ilmu yang dimasukkan dalam kategori umum dalam arti termasuk didalam disiplin ilmu-ilmu kauni (“ijtihad”/ hasil pemikiran manusia) yang berbeda dengan agama yang sifatnya taufiqi (dalam arti kata langsung ditetapkan bentuk dan wujud ajarannya).
Kedua, sistem kursus-kursus (takhasus) ini ditekankan pada pengembangan keterampilan tangan yang menjurus pada terebinanya pengetahuan psikomotorik seperti kursus menjahit, mengetik, komputer dan sablon. Pengejaran sisterm kursus ini mengerahkan pada terbentuknya santri-santri yang mandiri dalam menopang ilmu-ilmu agama yang mereka terima dari kiyai melalui pengajaran sorogan dan wetonan. Sebab pada umumnya santri diharapkan tidak tergantung pada pekerjaan dimasa mendatang, melainkan harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka.
Ketiga, sistem pelatihan; di samping sistem pengajaran klasikal dan kursus-kursus, dipesantren juga dilaksanakan sistem pelatihan yang menekankan pada kemampuan psikomotorik. Pola pelatihan yang dikembangkan adalah termasuk menumbuhkan kemampuan praktis seperti pelatihan pertukangan, perkebunan, perikanan, manajemen koperasi dan kerajinan-kerajinan yang mendukung terciptanya kemandirian integratif. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan yang lain yang cenderung melahirkan santri yang intelek dan ulama yang potensial.
C. Peran Pesantren pada Abad 21 M
Pesantren sebagai warisan masa lalu umat islam Indonesia tumbuh dalam masyarakat untuk melayani berbagai kebutuhan mereka. Ia dapat melayani kebutuhan pendidikan ketika masyarakat memerlukannya, terutama ketika lembaga-lembaga pendidikan modern yang pada umumnya bersifat formal, belum mampu menembus kepelosok desa. Pada saat itu dunia pesantren menjadi simbol yang menghubungkan dunia pedesaan dengan dunia luar. Manifestasinya sebagai penghubung, tergambar dari pesantren yang beragam dalam proses pembangunan masyarakat. Ada yang bergerak dalam bidang pendidikan, ekonomi, pertanian, peternakan dan bimbingan moral atau kerohanian. Namun ada persamaan karakteristik yang melekat pada pesantren, yaitu semua berangkat dari sikap dan keyakinan agama, serta berbasis dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dinamika perkembangan masyarakat yang sangat pesat pada beberapa dasawarsa terakhir, memunculkan tuntutan-tuntutan baru dalam bidang pendidikan yang semakin beragam. Keragaman tuntutan pendidikan tersebut pada gilirannya menimbulkan orientasi dan peran pesantren menjadi beragam pula.
Identitas pesantren yang pada awal perkembangannya merupakan sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama islam, kini identitas tersebut mengalami pergeseran sejalan dengan perkembangan masyarakat. Walau demikian, pergeseran yang dialami pesantren sama sekali tidak menjadikannya tercerabut dari akar kulturalnya. Pesantren dengan karakteristik kemandirian dan independensi kepemimpinannya tetap memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
1. Sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transformasi ilmu pengetahuan agama dan nilai-nilai keislaman
2. Sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial
3. Sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial
Sejalan dengan paparan diatas, pesantren terlibat aktif dalam mobilisasi pembangunan masyarakat desa, sehingga komunitas pesantren terlatih melaksanakan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat yang menyebabkan terjalinnya hubungan yang harmonis antara santri dan masyarakat, antara kiai dan kepala desa. Sehubungan dengan fungsi dan peran pesantren tersebut, serta karakteristik yang dimilikinya menjadikan pesantren sebagai sumberdaya lokal sekaligus sebagai modal sosial lokal yang setrategis dalam upaya membangun masyarakat. Dikatakan strategis, karena pesantren dan kiai dipandang sebagai “setali tiga uang” dengan masyarakat tradisional pedesaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pesantren menjadi pusat aktifitas masyarakat kepesantrenan, dimana kiyai, keluarga pengurus, para ustadz, santri dan keluarganya serta penduduk disekitar pesantren mempunyai sistem relasi yang tertata apik.
D. Kondisi Pesantren pada Abad 21 M
Proses menuju abad 21 telah berlangsung sejak tahun tujuh puluhan. Tidak ada yang bisa menghindar ataupun mengelak dari proses ini. Abad 21 ditandai dengan pergeseran nilai – nilai ekonomi dan politik, dari orientasi kwantitatif ke orientasi kualitatif. Selain itu juga terjadi perubahan teknologi dan inovasi. Abad ini dikenal dengan istilah “globalisasi”.
Globalisasi sebagai ciri dari modernitas merupakan realitas trans-nasional yang sulit dihindari. Penemuan-penemuan sains dan teknologi memberikan kemudahan luar baisa kepada manusia modern. Benyamin Hoessein (2000) yang dikutip oleh Amytha Trisnawardani, mendefinisikan globalisasi dapat dipandang sebagai proses penyesuaian terhadap kondisi internasional dan penciptaan berbagai penyesuaian terhadap kondisi internasional dan penciptaan berbagai kemungkinan melalui interaksi para pelaku dalam bidang sosial, budaya ekonomi, politik dan dimensi teknologi menjadi suatu intensifikasi interaksi kebudayaan sosial, ekonomi dan saling ketergantungan antar negara, individu, dan rakyat. Dalam proses ini, globalisasi ditandai dengan kemajuan yang sangat pesat dalam bidang tekonologi, informasi dan komunikasi.
Dalam konteks globalisasi ini, manusia akan dihadapkan tidak hanya pada perubahan struktur ekonomi dan sosial saja, akan tetapi juga pada persaingan pasar global yang cepat dan meningkat tajam. Perubahan-perubahan ini didorong oleh perubahan teknologi dan inovasi baru yang selain menciptakan pilihan-pilihan baru juga memberikan tantangan baru.
Kemajuan teknologi komunikasi abad ini telah memungkinkan berita dan cerita segera menyebar ke seluruh pelosok, menyapa siapa saja, tak peduli penerima pesannya siap atau tidak. Dunia ditandai oleh berbagai perubahan besar dalam tempo yang sangat cepat. Proses perubahan inilah yang melahirkan sejumlah tantangan yang harus dijawab oleh Pondok Pesantren, apakah ia mampu menjadikan tantangan sebagai peluang atau justru menjadi hambatan.
IV. KESIMPULAN
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pesantren modern dikontraskan dengan pesantren tradisional yang identik dengan kejumudan berpikir dan sistem pendidikan yang tidak efektif. Salah satu orang yang berjasa merumuskan konsep pesantren modern di Indonesia adalah K.H.Imam Zarkasyi, pendiri pondok modern Gontor. Dalam pandangannya, pesantren harus menerapkan kebebasan berpikir, manajemen efektif dan efisien, dan pengenalan santri terhadap modernitas. Selain di gontor juga terdapat PPMP (Pondok Pesantren Modern Putri) Darur Ridwan. Didirikan pada tahun 1989 oleh K.H. Aslam Suryono Hadi (alumni Pondok Modern Darus Salam Gontor), Darur Ridwan merupakan sebuah pondok pesantren modern khusus putri yang mengajarkan ilmu agama maupun ilmu umum.
Dalam perkembangannya pesantren tidak hanya menerapkan sistem tradisional seperti: sorogan, wetonan, dan bandongan saja. Tapi, lebih mengembangkan sistem-sistem modern seperti: klasikal, kursus-kursus (takhasus), dan pelatihan dengan tujuan agar santri tidak tergantung dengan pekerjaan dimasa mendatang tapi santri harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
Peran pesantren pada abad 21 M ini antara lain adalah: Sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transformasi ilmu pengetahuan agama dan nilai-nilai keislaman, sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial, serta sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial.
Kondisi pesantren pada abad 21 M ini ditandai oleh berbagai perubahan besar dalam tempo yang sangat cepat. Proses perubahan inilah yang melahirkan sejumlah tantangan yang harus dijawab oleh Pondok Pesantren, apakah ia mampu menjadikan tantangan sebagai peluang atau justru menjadi hambatan.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun, kami berharap semoga makalah ini dapat dengan mudah untuk dipahami dan bisa menambah wawasan kita. Dan tentunya kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan serta cacat dari kesempurnaaan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan kita bisa memetik hikmahnya. Amin..
DAFTAR PUSTAKA
Rizma Sofwan, 2012, file:///G:/sejarah/REPOSISI STRATEGI PESANTREN DALAM PEMBANGUNAN ABAD 21f.htm. Diakses pada 28 April 2013 pukul 15:38 WIB
In’am Sulaiman, Masa Depan Pesantren, (Malang: Madani Wisma Kalimetro, 2010),
Hj. Binti Maunah, tradisi Intelektual Santri dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2009)
Mayra Wals, pondok pesantren dan ajaran golongan islam ekstrim (studi kasus di pondok pesantren modern putri‘darur ridwan’ parangharjo, banyuwangi),
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
Ahmad Muthohar, Idiologi Pendidikan Pesantren, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007).
Jajat Burhanuddin, Dina Afrianty, Mencetak muslim modern: peta pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2002)
PERAN DAN FUNGSI KURIKULUM
PERAN DAN FUNGSI KURIKULUM
A. Peran Kurikulum
Kurikulum merupakan program pendidikan yang direncanakandan dilaksanakan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Kurikulum diantaranya berperan sebagai berikut :
1. Kurikulum sebagai alat pendidikan
Maksudnya kurikulum berperan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan, diantaranya yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan, pengembangan pribadi, kemampuan sosial atau kemampuan bekerja.
Kurikulum ini juga menjadi pedoman dalam merumuskan tujuan pendidikan, pemilihan bahan pembelajaran, pemilihan metode pembelajaran dan penilaian belajar siswa. Dengan berpedoman pada kurikulum maka pembelajaran akan terencana secara sistematis dan berlangsung secara efektif dan kreatif. Jadi, kurikulum wajib dimiliki oleh sekolah.
2. Kurikulum sebagai refleksi kebudayaan
Menurut Abdullah Idi mengenai hal ini ada 3 pandangan, diantaranya :
a. Pandangan kelompok konservatif
Dalam hal ini kurikulum bertugas untuk melestarikan budaya-budaya nenek moyang atau masyarakat terdahulu melalui pengajaran di sekolah. Artinya kurikulum menjadi media transfer dan penanaman nilai-nilai budaya kepada anak didik. Oemar Hamalik menyatakan dengan adanya pandangan kelompok konservatif ini, maka sesungguhnya kurikulum berorientasi pada masa lampau.
b. Pandangan kelompok kreatif
Tidak jauh beda dengan pandangan kelompok konservatif, dalam pandangan kelompok ini kurikulum merupakan sarana untuk menggali nilai-nilai budaya, kearifan lokal, sekaligus mewariskannya kepada generasi muda dan kelompok ini juga memandang bahwa kreativitas juga diperlukan dalam melestarikan nilai-nilai budaya kepada anak didik.
c. Pandangan kelompok kritis
Menurut pandangan kelompok ini, kurikulum adalah sebagai alat untuk mengevaluasi kebudayaan yang ada. Apakah ilai-nilai budaya tersebut dapat menunjang kemajuan atau justru malah menghambatnya. Disinilah kurikulum berperan mengkritisi dan menilai budaya-budaya yang berlaku di masyarakat. Dengan kata lain, kelompok ini sangat kritis dan selektif dalam memandang nilai-nilai budaya mana yang dimasukkan menjadi kurikulum pendidikan.
B. Fungsi Kurikulum
Winarno Surahmad dalam Burhan Nugiyantoro menyatakan bahwa kurikulum memiliki 3 fungsi yaitu :
1. Fungsi bagi sekolah yang bersangkutan
Dalam hal ini, kurikulum mempunyai dua fungsi besar. Pertama, sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuanpendidikan yang diinginkan. Sedangkan yang kedua, kurikulum dijadikan pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah.
2. Fungsi bagi sekolah tingkat di atasnya
Dalam hal ini, fungsi kurikulum adalah untuk mengontrol atau memelihara keseimbangan proses pendidikan. Dengan mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat tertentu, maka kurikulum pada tingkat diatasnya dapat melakukan penyesuaian.
3. Fungsi bagi masyarakat
Fungsi kurikulum dalam hal ini adalah untuk mencerminkan hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat atau para pemakai lulusan sekolah.
RESTRUKTURISASI KURIKULUM PAI DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI
RESTRUKTURISASI KURIKULUM PAI DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Pengembangan Kurikulum
Dosen Pengampu: Drs. Achmad Sudja’i, M. Ag.
Disusun Oleh:
Syafa’atul Munawaroh (113111088)
Ahmad Fatoni (113111096)
Amal Al Ahyadi (113111099)
Evi Riani (113111107)
Luthfia Hayatun Nisa’ (113111119)
Muhamad Ansori (113111124)
Eko Setiawan (113211048)
Wachid Sobirin (113211078)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
RESTRUKTURISASI KURIKULUM PAI DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI
I. Pendahuluan
Kurikulum dan pembelajaran, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai suatu rencana atau program, kurikulum tidak akan bermakna manakala tidak di implementasikan dalam bentuk pembelajaran. Demikian juga sebaliknya, tanpa kurikulum yang jelas sebagai acuan, maka pembelajaran tidak akan berlangsung secara efektif.
Ketika sekolah atau madrasah diberi kewenangan untuk menyusun dan melaksanakan kurikulum sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing sekolah atau madrasah, ternyata banyak menghadapi kendala terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan kurikulum tersebut, karena dalam kenyataannya distribusi tenaga yang terlatih dan memiliki keahlian dalam pengembangan kurikulum masih belum merata. Tidak heran jika mereka berusaha untuk melakukan copy paste terhadap kurikulum yang pernah dibuat oleh sekolah atau madrasah lainnya demi memenuhi tuntunan formalitas belaka.
Di sisi lain, kita juga akan menghadapi era globalisasi, dalam konteks pendidikan, negara-negara yang tidak mampu menghasilkan kualitas pendidikan yang bermutu, akan tertinggal di arena kompetisi dunia. Masalah-masalah pendidikan agama Islam pun terus berkembang, di antaranya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, padahal ilmu umum dan ilmu agama itu sumbernya dari Al-Qur’an. Masalah ini menyebabkan terjadinya kemunduran pada pendidikan agama Islam. Untuk itu, pengembangan dan perbaikan sistem pendidikan atau dalam hal ini kurikulum pendidikan agama Islam harus sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yang seutuhnya.
II. Rumusan Masalah
A. Pengertian Kurikulum Pendidikan Agama Islam
B. Problematika Kurikulum Pendidikan Agama Islam
C. Restrukturisasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam dalam Menghadapi Era Globalisasi
III. Pembahasan
A. Pengertian Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Setiap tindak pendidikan dan pembelajaran selalu di orientasikan pada pencapaian kompetensi-kompetensi tertentu, baik berkaitan dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual intellegence), intelektual (intellectual intelligence), emosional (emosional intelligence), sosial (social intelligence), maupun kreatif (creatifity intelligence). Untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan media yang relevan dengan substansi berbagai kecerdasan tersebut. Media yang di maksud adalah kurikulum.
Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata curir yang berarti pelari dan curere yang berarti tempat berpacu atau berlari, dalam sebuah perlombaan yang telah dibentuk semacam rute pacuan yang harus dilalui para kompetitor perlombaan mulai dari start sampai dengan finish. Dalam dunia pendidikan, istilah kurikulum ditafsirkan sebagai muatan dan proses, baik formal maupun informal yang diperuntukkan bagi pembelajar untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman, mengembangkan keahlian dan mengubah apresiasi sikap dan nilai dengan bantuan sekolah.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Pendidikan merupakan proses yang lebih besar dari sekedar aktivitas persekolahan. Pendidikan, dengan mengesampingkan perbedaan madzhab dan orientasi, merupakan proses pengembangan sosial yang mengubah individu dari sekedar makhluk biologis menjadi makhluk sosial agar hidup bersama realitas zaman dan masyarakatnya.
Sedangkan Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, ajaran agama Islam, disertai dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan demikian, kurikulum pendidikan agama Islam adalah suatu rancangan atau program studi yang berkaitan dengan materi atau pelajaran Islam, tujuan proses pembelajaran, metode dan pendekatan serta bentuk evaluasinya. Karena itu kurikulum Pendidikan Agama Islam merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (totalitas).
Kurikulum pendidikan agama Islam bersumber dari tujuan pendidikan Islam, yaitu menjadikan manusia Muslim yang beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya kepada sang Khalik dengan sikap dan kepribadian bulat menyerahkan diri kepada-Nya dalam segala aspek kehidupan dalam rangka mencari keridhaan-Nya.
B. Problematika Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Dalam upaya menciptakan pendidikan agama Islam yang mencerahkan, perlu adanya pemahaman secara komprehensif tentang realitas keagamaan, yang meliputi pengertian tentang agama, pemahaman keagamaan, dan sikap keagamaan. Agama pada dasarnya adalah masalah ketuhanan yang diturunkan kepada manusia untuk dijadikan way of life (pegangan hidup) yang mencakup norma-norma, prinsip-prinsip dalam menjalankan kehidupan dengan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang sangat mulia.
Masalah yang cukup dilematis adalah model pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, madrasah, atau pesantren yang lebih menekankan pada pendekatan yang bersifat materiil, dan mencoba memateriilkan keberadaan Tuhan; agama itu jumlahnya banyak dan yang benar adalah agama yang dianut oleh si-A, si-B. Materi-materi yang disampaikan terlalu membebankan peserta didik, sebab pengetahuan-pengetahuan kognitif yang cenderung diberikan, sehingga kurang memperhatikan aspek spiritual yang memadai dan aspek sosial sebagai bentuk dari kesalehan sosial yang harus dimiliki oleh peserta didik.
Pola pendidikan agama Islam seperti itu menurut Abd. A’la menjadikan manusia menjadi “terasing” dengan agamanya, bahkan dengan kehidupan itu sendiri. Mereka mengenal agama sebagai masalah yang hanya penuh klaim-klaim kebenaran sepihak. Sedang ajaran dasar agama Islam yang syarat dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, semisal kedamaian dan keadilan, menjadi terbengkalai, dan tidak pernah disentuh secara serius.
Implikasi pemahaman agama Islam yang meninggalkan aspek nilai-nilai universal dan tidak komprehensif akan berakibat fatal terhadap sikap keagamaan yang kemudian akan mengganggu keharmonisan kehidupan beragama dan tidak adanya keseimbangan antara aspek individual dan aspek sosialnya.
Di lain masalah, pola pendidikan agama Islam masih belum mampu melepaskan diri dari himpitan multi krisis yang meliputi:
1. Krisis konseptual, yang berkenaan dengan pembatasan di dalam sistem pendidikan Islam. Muncul kecenderungan untuk mempertentangkan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Selain itu, ilmu pendidikan Islam tidak didukung oleh the body of knowledge yang relefan dengan masyarakat Indonesia karena masih kuatnya pengaruh warisan pemikiran klasik pertengahan Islam dan pemikiran Barat tanpa disertai upaya riset dan pengembangan yang memadai.
2. Krisis kelembagaan, terjadinya dikotomisasi antara lembaga-lembaga yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum, sehingga berlangsung dualisme sistem pendidikan nasional yang menjadi pangkal disintegrasi dan diskriminasi dalam kebijakan pendidikan.
3. Adanya konflik antara tradisi pemikiran dan praktik pendidikan Islam dengan modernitas. Krisis ini sangat terlihat terutama di dunia pesantren (meski tidak seluruhnya) yang masih berusaha gigih menjaga jarak untuk tidak “terkontaminasi” oleh modernitas.
4. Krisis metodologi atau krisis pedagogik, terjadi akibat masih meluasnya persepsi di dalam komunitas lembaga-lembaga pendidikan, bahwa tugas pendidikan hanyalah mengisi ranah kognitif intelektual, bukan mengisi aspek pembentukan pribadi dan watak.
5. Krisis orientasi, sistem pendidikan Islam pada umumnya berorientasi pada kepentingan akhirat dan mengabaikan kepentingan duniawi.
Masalah yang paling besar dalam pendidikan agama Islam saat ini adalah masalah dikotomi ilmu, dikotomi merupakan sikap atau paham yang membedakan atau memisahkan dan mempertentangkan antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum”. Terjadinya diskursus dikotomi ini mengakibatkan ilmu-ilmu aqliyah yang menjadi pilar bagi sains dan teknologi menjadi pudar, bahkan lenyap dari tradisi keilmuan dan pendidikan Islam. Pada saat yang sama, ilmu-ilmu aqliyah mengalami transmisi ke dunia Barat. Akhirnya, umat Islam pun menjadi terperangah dengan supremacy knowledge yang dikuasai dunia Barat dan mengalami ketergantungan kepada mereka dalam hampir semua aspek.
Seiring dengan masalah dikotomi tersebut, berbagai partikel konsep istilah yang kurang sedap pun akhirnya muncul. Misalnya adanya sekolah agama dan sekolah umum, ilmu agama dan ilmu umum. Bahkan dikotomi itu menghasilkan kesan bahwa “pendidikan agama” berjalan tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi serta terdominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, ritual, dan eskatologis. Begitu juga sebaliknya, “pendidikan umum” hadir tanpa sentuhan agama dan bersifat positivistik-rasionalis.
Selain itu, masalah kurikulum pendidikan agama Islam pun masih banyak terjadi. Dalam banyak definisi dan pengertian tentang kurikulum, akan memberikan dua kata kunci, yaitu kurikulum sebagai “isi mata pelajaran” dan kurikulum sebagai “proses pembelajaran”. Selama ini mayoritas pola rancangan dan pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam banyak memakai cara-cara yang berkesadaran Eropasentris, taruhlah dalam hal ini:
1. Pola kurikulum yang terlalu menekankan pada isi yang bertolak dari asumsi bahwa masyarakat bersifat statis. Karena itu, biasanya kurikulum ditentukan oleh sekelompok orang yang ahli, disusun secara sistematis dan logis sesuai dengan disiplin-disiplin ilmu tanpa melibatkan pendidik dan peserta didik.
2. Pola kurikulum masih menekankan anggapan bahwa peserta didik sejak lahir sudah memiliki potensi-potensi. Kurikulum dirancang dan diarahkan menyediakan dan menciptakan lingkungan atau situasi yang mendukung dan menunjang adanya potensi yang sudah ada.
3. Pola kurikulum yang menekankan perpaduan antara isi dan proses serta pengalaman belajar sekaligus. Dalam menyusun kurikulum bertolak dari masalah yang dihadapi masyarakat sebagai isi pendidikan, sedangkan proses atau pengalaman belajar peserta didik dilakukan dengan cara memerankan ilmu-ilmu dan teknologi.
Kurikulum pendidikan agama Islam yang seperti itu belum mumpuni dalam menganalisis secara kritis fakta terselubung di ruang sosial, sehingga tidak berdampaknya pendidikan Islam terhadap perubahan yang lebih baik, berkeadilan, dan melindungi hak-hak orang kecil di masyarakat.
Aktivitas keilmuan pendidikan agama Islam hanya terfokus dan terbatas pada ilmu kalam, falsafah, hadis, tarikh, fiqih, tafsir, dan lain sebagainya. Lembaga pendidikan Islam belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial dan humanis kontemporer dan mengawinkan atau mempertautkan dengan ilmu-ilmu keislaman, semisal antropologi, sosiologi, psikologi, dan lain sebagainya. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara ilmu-ilmu keislaman klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru yang memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial humaniora kontemporer.
Komarudin Hidayat menyoroti orientasi kurikulum dan materi pendidikan agama Islam yang selama ini berjalan dianggap kurang tepat, indikatornya sebagai berikut:
1. Pendidikan agama Islam lebih ditekankan pada belajar tentang agama, yang akhirnya hanya mengetahui nilai-nilai agama Islam, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diketahuinya.
2. Tidak tertibnya penyusunan dan materi pendidikan Islam, sehingga hal-hal prinsip yang semestinya dipelajari lebih awal, tetapi justru terlewatkan.
3. Kurangnya penjelasan yang luas, mendalam, dan kurangnya penguasaan istilah-istilah pokok dalam ajaran Islam yang menyebabkan penjelasan kurang tepat dan terjadinya keterpisahan antara ajaran Islam dengan realitas perilaku pemiliknya.
Maka dalam hal ini, masalah kurikulum pendidikan agama Islam mau tidak mau harus disikapi. Kurikulum pendidikan agama Islam tidak hanya diorientasikan pada wilayah-wilayah pemahaman norma-norma agama yang sering kali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, akan tetapi kurikulum tersebut juga diarahkan pada bagaimana menghadapi tren global yang sarat dengan kemajuan iptek dalam bidang informasi serta kebutuhan masyarakat yang serba kompetitif.
C. Restrukturisasi Kurikulum pendidikan agama Islam dalam Menghadapi Era Globalisasi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), restrukturisasi berarti penataan kembali (supaya struktur atau tatanannya menjadi lebih baik). Kaitannya dengan kurikulum pendidikan agama Islam, supaya ditata kembali agar kurikulum pendidikan agama Islam sesuai dengan tujuan pendidikan agama Islam dari berbagai masalah-masalah yang terjadi saat ini dalam menghadapi era globalisasi.
Dalam kerangka struktur berpikir masyarakat, proses globalisasi dianggap berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai pendidikan agama Islam. Oleh karena itu, respons-respons konstruktif menjadi sebuah keharusan. Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan agama Islam yang berada dalam atmosfer modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif.
Tindakan yang harus dihadapi oleh Muslim dalam menghadapi era globalisme ini adalah dengan adanya pendidikan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang terkait dengan sistem agama Islam. Ajaran Islam harus dioperasionalkan dalam kenyataan, sehingga akan terlihat dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah yang benar-benar mengikuti prinsip-prinsip agama Islam.
Berkaitan dengan era globalisasi yang cenderung pada perubahan yang sangat cepat dan ketidakpastian ini, maka lembaga pendidikan Islam memerlukan suatu desain kurikulum yang berorientasi pada masa depan, memiliki fleksibelitas tinggi, diversifikasi keahlian, serta mudah disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat.
Masalah-masalah pendidikan agama Islam yang harus dipecahkan dalam menghadapi era globalisasi saat ini di antaranya adalah masalah dikotomi “ilmu agama” dan ”ilmu umum”. Upaya untuk menghilangkan dikotomi ilmu ini salah satunya dengan cara merumuskan semua cabang ilmu pengetahuan (umum) harus diintegralisasikan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Artinya, ilmu-ilmu umum harus berjalan dengan sentuhan agama Islam . Begitu juga sebaliknya, ilmu-ilmu agama Islam juga harus berjalan dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak terdominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, ritual, dan eskatologis.
Untuk mewujudkan gagasan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang Islami, diperlukan beberapa hal yang harus dilaksanakan, di antaranya adalah:
1. Diperlukan keberanian melakukan ijtihad dalam berbagai disiplin iptek secara bersungguh-sungguh. Ijtihad merupakan sebuah upaya untuk menembus kawasan yang tak terpikirkan.
2. Membangun kembali semangat pembaharuan. Selama ini masyarakat Islam cenderung statis dan takut menerima pembaharuan-pembaharuan, karena adanya anggapan bahwa apa yang telah dirumuskan oleh generasi terdahulu telah sempurna dan cukup lengkap untuk menjawab masalah kekinian.
3. Perlu dijalin kerja sama yang baik antara para ilmuan dengan pemerintah. Para ilmuan mencurahkan segala kemampuannya dalam mengembangkan, menguasai dan memajukan iptek modern dengan menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai pijakannya, sedangkan pemerintah memberikan jaminan kesejahteraan kepada para intelektual muslim sehingga mereka bisa mencurahkan segala kemampuannya dalam upaya mengembangkan iptek modern.
4. Hal-hal yang menghambat perkembangan iptek seperti fanatisme golongan, mistisisme yang salah serta kelemahan di bidang politik harus dihindarkan semaksimal mungkin.
Selama ini, kurikulum pendidikan agama Islam adalah ajaran pokok agama Islam yang meliputi akidah (masalah keimanan), bersifat kebatinan, peserta didik diajarkan tentang keesaan Allah. Syariah (masalah keislaman), berkenaan dengan amal saleh dalam rangka menaati semua peraturan dan hukum Allah, mengatur hubungan manusia dengan Allah, dan mengatur pergaulan hidup, dan kehidupan manusia. Dan ihsan (masalah akhlak), tentang tata cara pergaulan hidup manusia. Tiga ajaran itu kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman, Islam, dan ihsan. Dari itu lahirlah ilmu tauhid, fiqih, dan ilmu akhlak. Namun konteks pendidikan agama Islam semacam itu belum sepenuhnya mampu menjadikan peserta didik memiliki keunggulan dan itegratif, sebab Islam harus dijabarkan seluas-luasnya. Kurikulum pendidikan agama Islam seharusnya bersentuhan segala aspek kehidupan manusia yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis Nabi serta penalaran logis dan hasil observasi yang kaya pengetahuan dan pengalaman hidup dalam kehidupan.
Di lain masalah, model pembelajaran agama Islam lebih menekankan materi dalam aspek “pengetahuan” saja. Di sinilah terletak pentingnya jiwa ruang lingkup materi pendidikan agama Islam yang tidak hanya materi yang harus dihafalkan (cognitive learning) atau berbagai latihan keterampilan spesifik (psychomotoric training), tetapi sangat penting bahwa konsep materi pendidikan agama Islam harus disampaikan dengan susunan yang memungkinkannya untuk berfungsi sebagai masukan (input) yang dapat di proses dalam otak, sehingga akan memungkinkan terbentuknya suatu sikap apresiatif dan suatu konsep atau ide tentang pemecahan suatu masalah yang dihadapinya.
Dengan demikian, kurikulum pendidikan agama Islam hendaknya disusun dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang fleksibel, dinamis, efektif, dan efisien agar memungkinkan setiap peserta didik untuk berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing dan tuntutan eksternal yang dihadapinya.
Dalam penyusunan kurikulum pendidikan agama Islam yang fleksibel, dinamis, efektif dan efisien, harus mengikuti 10 prinsip umum (aksioma) kurikulum yang diajukan oleh Peter F. Oliva, yaitu:
1. Perubahan adalah perlu dan diinginkan serta mendesak, melalui perubahan, bentuk-bentuk kehidupan akan terus tumbuh, berkembang, dan mengalami kemajuan.
2. Kurikulum tidak hanya sebagai refleksi dari, tetapi merupakan produk dinamika sosial masyarakat pada waktunya.
3. Perubahan kurikulum yang terjadi pada masa lampau dapat tetap ada bersamaan waktunya dengan perubahan kurikulum yang baru dilakukan.
4. Perubahan kurikulum adalah hasil perubahan diri orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan.
5. Perbaikan kurikulum akan berhasil bilamana diciptakan kerja sama dari berbagai kelompok.
6. Pengembangan kurikulum pada dasarnya adalah suatu proses pemilahan antara alternatif-alternatif dan proses pengambilan keputusan.
7. Pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan suatu proses yang terus menerus tanpa akhir.
8. Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang komprehensif.
9. Pengembangan kurikulum secara sistematis adalah lebih efektif dari tindakan “trial and error”.
10. Rencana kurikulum harus mulai dari kurikulum itu sendiri.
Sebagai rencana dan program tertulis, kurikulum merupakan pedoman bagi guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kurikulum yang ideal yaitu kurikulum yang diharapkan dapat dilaksanakan dan berfungsi sebagai acuan atau pedoman guru dalam proses belajar dan mengajar.
Setiap jenis kurikulum mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, berikut adalah karakteristik kurikulum pendidikan agama Islam:
1. Memiliki pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan jiwa, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia.
2. Tujuan pendidikan Islam yaitu memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah.
3. Harus sesuai dengan tingkatan pendidikan, dalam hal karakteristik, pemahaman, jenis kelamin, dan tugas-tugas kemasyarakatan yang dirancang dalam kurikulum.
4. Memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut penghidupan, dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal.
5. Tidak bertentangan dengan konsep dan ajaran Islam.
6. Rancangan kurikulum harus sesuai dengan peserta didik dan keadaan masyarakatnya.
7. Harus memilih metode dan pendekatan yang relevan dengan kondisi materi, belajar mengajar, dan suasana lingkungan pembelajaran.
8. Harus efektif, menghasilkan pendidikan yang bersifat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan.
9. Harus sesuai dengan tingkatan usia peserta didik.
10. Memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktivitas langsung.
Kurikulum pendidikan agama Islam harus menjadi kekuatan (power) yang ampuh untuk menghadapi era globalisasi yang memunculkan masalah-masalah yang beraneka ragam bentuknya. Tantangan ini harus di respons agar tidak dikatakan kurikulum pendidikan agama Islam ketinggalan zaman. Rumusan kurikulum pendidikan agama Islam harus bernafaskan kekinian (up to date) untuk melakukan improvisasi dan perubahan. Kurikulum pendidikan agama Islam harus melakukan terobosan baru sesuai pola hidup masyarakat yang menitik beratkan kemajuan dan terbebas dari kebodohan dan kemiskinan. Supaya pendidikan agama Islam tidak hancur, maka proses perubahan, pengembangan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum jangan pernah berhenti.
Komponen-komponen kurikulum pendidikan agama Islam harus berdasarkan tujuan pendidikan nasional yang sesuai dengan konferensi pendidikan Islam yang pertama di Mekkah (1977) yaitu mengembangkan manusia secara utuh, dan seimbang melalui jiwa, intelek, rasio, perasaan dan latihan jasmani.
1. Tujuan kurikulum pendidikan agama Islam
a. Tercapainya manusia seutuhnya, karena Islam adalah agama yang sempurna, sesuai dengan firmanya QS. Al-Maidah: 3.
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.
b. Tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat, merupakan tujuan yang seimbang. Untuk mencapai tujuan ini sangat di butuhkan tidak saja ilmu agama yang sebatas ritual (spiritual) semata-mata, melainkan juga perlu ilmu umum yang berkaitan dengan kehidupan dunia.
c. Menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi dan patuh terhadap perintah dan menjauhi larangan-Nya. Tujuan pendidikan Islam diproyeksikan agar hidup manusia menjadi dekat dengan sang Kholik, karena itu ia harus mengabdi setiap saat, kapan, dan di manapun.
2. Isi kurikulum pendidikan agama Islam yang sesuai konferensi Makkah
Berkaitan dengan isi kurikulum (Ahmad Jayadi, 2004) menjelaskan bahwa isi kurikulum hendaknya mencerminkan pemahaman bahwa semua ilmu itu merupakan produk Allah semata, sedangkan manusia hanya menginterpretasikannya saja (QS. Al-Kahfi: 109 dan (Al-Isra’: 85). Untuk itu, isi kurikulum pendidikan agama Islam seharusnya dikembangkan dengan tiga orientasi, yang ketiganya disajikan dengan terpadu (integrated approach).
a. Isi kurikulum yang berorientasi pada ketuhanan
Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan ketuhanan, mengenal zat, sifat, perbuatan-Nya, dan relasinya terhadap manusia dan alam semesta. Bagian ini meliputi ilmu kalam, ilmu metafisika alam, ilmu fiqih, ilmu akhlak atau (tasawuf), ilmu-ilmu tentang al-Qur’an dan ass-Sunnah (tafsir, mustholah, linguistic, ushul fiqh, dsb).
b. Isi kurikulum yang berorientasi pada sosial kemanusiaan
Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan haliah pribadi manusia, baik manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk berbudaya dan makhluk berakal. Bagian ini meliputi ilmu politik, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, antropologi, sejarah, linguistic, ilmu seni, ilmu arsitek, filsafat, psikologi, pedagogis, kedokteran, perdagangan, komunikasi, administrasi, matematika, dsb.
c. Isi kurikulum yang berorientasi pada kealaman
Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan fenomena alam semesta sebagai makhluk yang diamanatkan dan untuk kepentingan manusia. Bagian ini meliputi ilmu fisika, kimia, pertanian, perikanan, obat-obatan, astronomi, ruang angkasa, geologi, geofisika, botani, zoology, biogenetic, dsb.
Tabel isi kurikulum pendidikan agama Islam yang sesuai konferensi Makkah:
Sifat-sifat Ayat
Allah sebagai Qur’aniyah
sumber sebagai sumber
Ayat Kauniyah
sebagai sumber
Ketiga isi kurikulum tersebut disajikan secara terpadu, tanpa adanya pemisahan, misalnya bila membicarakan Tuhan dan sifat-Nya, akan berkaitan pula dengan relasi Tuhan dengan manusia dan alam semesta. Dengan demikian, isi kurikulum tersebut akan membicarakan hakikat Tuhan, manusia dan alam semesta.
3. Organisasi atau Strategi Kurikulum
Organisasi atau strategi kurikulum merupakan petunjuk bagi para pelaksana kurikulum dalam mencapai tujuan kurikulum dan melaksanakan isi atau materi kurikulum dengan benar. Poin-poin penting dalam strategi kurikulum ini adalah:
a. Tingkat dan jenjang pendidikan.
Strategi kurikulum pendidikan agama Islam harus disesuaikan pada masing-masing tingkatan dan jenjang pendidikan yang ada, yaitu disesuaikan pada tingkatnya PAUD, SD, SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi.
b. Metode dan teknik pembelajaran.
Metode yang perlu digunakan dalam pembelajaran agama Islam, haruslah memiliki dua landasan, pertama landasan motivasional, yaitu metode pemupukan sifat individu peserta didik menerima ajaran agama Islam dan bertanggung jawab terhadap pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua landasan moral, yaitu metode yang membuat tertanamnya nilai keagamaan dan keyakinan peserta didik sehingga perbuatannya mengacu pada isi, jiwa, berakhlak karimah, dan memiliki daya tahan dalam menghadapi tantangan perubahan zaman.
c. Bimbingan dan penyuluhan.
Bimbingan dan penyuluhan dalam strategi kurikulum pendidikan agama Islam dapat dilakukan dengan cara guru yang berperan secara langsung melakukan pendekatan dan membimbing peserta didiknya dengan ajaran-ajaran yang baik yang membuat peserta didik lebih dapat memahami materi-materi yang disampaikan.
d. Administrasi dan supervisi.
Strategi kurikulum bagian administrasi dan supervisi dapat dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan Islam melalui tat usaha (TU) yang ada pada lembaga-lembaga tersebut. Dengan adanya tata usaha, sistem keuangan dan peralatan yang mendukung proses pembelajaran dalam mencapai tujuan dan isi kurikulum dapat berjalan degan baik.
e. Penilaian hasil belajar.
Penilaian hasil belajar tidak hanya diukur dengan instrumen tes tulis saja (kognitif), melainkan juga dapat diukur dengan non tes yang dilihat dari segi penampilan akhlak dan tindakannya (afektif dan psikomotorik). Dari hasil penilaian tersebut dapat ditentukan seberapa jauh keberhasilan proses menjalankan strategi pembelajaran dalam menyampaikan materi pembelajaran.
4. Evaluasi Kurikulum
Keberhasilan sebuah kurikulum ditetapkan oleh suatu proses pembelajaran yang dapat memberikan nilai-nilai tertentu untuk mencapai keberhasilan tujuannya. Evaluasi kurikulum merupakan usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai sejauh mana kurikulum tersebut dalam mencapai tujuannya. Evaluasi kurikulum juga diperlukan untuk mengetahui efektifitas kurikulum dan dalam upaya memperbaiki serta menyempurnakan kurikulum yang ada.
IV. Kesimpulan
Kurikulum pendidikan agama Islam adalah suatu rancangan atau program studi yang berkaitan dengan materi atau pelajaran Islam, tujuan proses pembelajaran, metode dan pendekatan serta bentuk evaluasinya. Karena itu kurikulum Pendidikan Agama Islam merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (totalitas).
Selama ini, masalah pendidikan agama Islam masih banyak terjadi, di antaranya masalah dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, model penyampaian materi yang lebih menekankan pada pengetahuan saja, dan masalah kurikulum pendidikan agama Islam, yaitu:
1. Pendidikan agama Islam lebih ditekankan pada belajar tentang agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diketahuinya.
2. Tidak tertibnya penyusunan dan materi pendidikan agama Islam.
3. Kurangnya penjelasan yang luas, mendalam, dan kurangnya penguasaan istilah-istilah pokok dalam ajaran Islam.
Maka, masalah itu mau tidak mau harus disikapi. Kurikulum pendidikan agama Islam tidak hanya diorientasikan pada pemahaman norma-norma agama saja, tetapi kurikulum tersebut juga diarahkan pada bagaimana menghadapi tren global yang sarat dengan kemajuan iptek dalam bidang informasi.
Dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam harus mengikuti 10 prinsip-prinsip umum (aksioma) yang diajukan oleh Peter F. Oliva.
Restrukturisasi kurikulum pendidikan agama Islam dalam menghadapi era globalisasi dapat dilakukan dengan cara menghilangkan dikotomi ilmu yaitu merumuskan semua cabang ilmu pengetahuan (umum) itu harus diintegralisasikan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Model pembelajaran agama Islam tidak menekankan pada pengetahuan saja, tetapi juga harus menekankan pada kelakuan, sehingga akan terbentuk suatu sikap apresiatif sesuai pengetahuan agama Islam yang diketahuinya. Dan isi materi kurikulum pendidikan agama Islam harus sesuai dengan konferensi Makkah yaitu berorientasi pada ketuhanan, sosial humaniora (kemanusiaan), dan kealaman.
V. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat pemakalah susun tentang restrukturisasi kurikulum pendidikan agama Islam dalam menghadapi era globalisasi. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat di harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga pembahasan makalah kali ini dapat bermanfaat untuk semuanya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Zindani, Abdul Majid bin Aziz , dkk. 2002. Mukjizat Al Qur’an dan As Sunnah tentang IPTEK. Jakarta: Gema Insani Press.
Aly, Hery Noer dan Munzier S. 2003. Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani.
Arif, Mahmud. 2009. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS.
Arifin, Zainal. 2011. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Baharuddin. dkk, 2011. Dikotomi Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Feisal, Jusuf Amir. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Furchan, Arif, dkk. 2005. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di perguruan Tinggi Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Hasan, Hamid. 2008. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Idi, Abdullah. 2009. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Karim, Muhammad. 2009. Pendidikan Kritis Transformatif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Majid, Abdul. 2012. Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Majid, Abdul. dan Dian Andayani. 2005. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004). Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Mas’ud, Abdurrachman. dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muddofir, Ali. 2011. Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Mujtahid. 2011. Reformulasi Pendidikan Islam; Meretas Mindset Baru, Meraih Peradaban Unggul. Malang: UIN-Maliki Press.
Mukhtar. 2003. Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: CV Misaka Gazila.
Rembangy, Musthofa. Pendidikan Transformatif. Yogyakarta: PT. Teras. 2010
Sanjaya, Wina. 2010. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik mengembangkan Kurikulum KTSP. Jakarta: Kencana.
Sudja’i, Achmad. 2013. Pengembangan Kurikulum. Semarang: AKFI Media.
Sugono, Dendy. dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
FUNGSI DAN MANFAAT MICRO TEACHING
FUNGSI DAN MANFAAT MICRO TEACHING SEBAGAI SUMBER BELAJAR
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah: Media Pembelajaran
Dosen Pengampu: Zulaikhah, M.Ag,. M.Pd
Disusun Oleh :
Syafa’atul Munawaroh (113111088)
Ahmad Multazan (113111097)
Evi Riani (113111107)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
FUNGSI DAN MANFAAT MICRO TEACHING SEBAGAI SUMBER BELAJAR
I. PENDAHULUAN
Pembelajaran mikro secara teknis bertolak dari asumsi bahwa keterampilan-keterampilan mengajar yang kompleks itu dapat terbagi menjadi unsur-unsur keterampilan yang lebih kecil. Masing-masing keterampilan dapat dilatihkan jauh lebih efektif dan efisien, apabila dibandingkan dengan pendekatan lain yang dilakukan secara global.
Melalui pembelajaran mikro, pembentukan keterampilan dapat dilakukan secara sistematik mulai dari pemahaman, perencanaan, observasi sampai dengan peragaan untuk kemudian diteruskan dengan latihan yang berjenjang (latihan terbatas). Keterampilan dasar mengajar merupakan suatu keterampilan yang menuntut latihan terprogram untuk dapat menguasainya. Agar kegiatan latihan keterampilan dasar mengajar yang dilakukan melalui pendekatan pembelajran mikro dapat berjalan dengan baik dan membuahkan hasil yang optimal maka tentu saja diperlukan perencanaan yang matang.
Dengan telah dipahaminya perencanaan pembelajaran secara utuh, maka akan memudahkan untuk melakukan proses adaptasi dalam membuat perencanaan pembelajaran secara umum, dan khususnya untuk kepentingan pembelajaran mikro, atau untuk kepentingan model pembelajaran lainnya.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian micro teaching?
B. Apa fungsi dan manfaat micro teaching sebagai sumber belajar?
C. Bagaimana tahapan dan prosedur micro teaching?
D. Apa saja kendala pelaksanaan micro teaching?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian micro teaching
Pembelajaran micro dapat diarrtikan sebagai cara dalam melatih keterampilan keguruan atau praktik mengajar dalam lingkup kecil atau terbatas. Jumlah pesertanya sekitar 5 sampai 10 orang, ruang kelasnya terbatas, waktu pelaksanaanya berkisar antara 10 dan 15 menit, terfokus kepada keterampilan mengajar tertentu, dan pokok pembahasannya disederhanakan. Pengajaran micro teaching ini merupakan teknik baru dan menjadi bagian dalam pembaruan. Pengunaan pengajaran micro teching dalam rangka mengembangkan keterampilan mengajar para calon guru, atau sebagai usaha peningkatan, adalah suatu cara baru terutama dalam sistem pendidikan guru di Negara kita.
B. Fungsi dan manfaat micro teaching sebagai sumber belajar
a. Fungsi micro teaching sebagai sumber belajar
Micro teaching ialah untuk memperkuat program Pengalaman Lapangan. Berlatih micro teaching menyebabkan merasa lebih terampil serta yakin dalam melaksanakan PPL. Hal ini didukung oleh beberapa hal di bawah ini:
1) Mahasiswa yang baik dalam micro teaching, baik juga dalam PPL.
2) Mahasiswa yang lulus micro teaching lebih trampil dalam PPL daripada yang tidak mengikuti micro teaching.
3) Mahasiswa yang telah mengikuti program micro teaching memperoleh nilai tinggi dalam PPL.
4) Micro teaching sangat bermanfaat bagi mahasiswa yang berprestasi sedang, sedangkan bagi yang kemampuannya lambat atau sangat pandai kurang bermanfaat.
5) Interaksi antara guru-siswa menjadi lebih baik pada calon guru yang telah mengikuti program micro teaching.
b. Manfaat micro teaching sebagai sumber belajar
Pengajaran mikro bertujuan membekali tenaga pendidik beberapa keterampilan dasar mengajar dan pembelajaran. Bagi calon tenaga pendidik metode ini akan memberi pengalaman mengajar yang nyata dan latihan sejumlah keterampilan dasar mengajar secara terpisah. sedangkan bagi calon tenaga pendidik dapat mengembangkan keterampilan dasar mengajarnya sebelum mereka melaksanakan tugas sebagai tenaga pendidik. Memberikan kemungkinan calon tenaga pendidik untuk mendapatkan bermacam keterampilan dasar mengajar serta memahami kapan dan bagaimana menerapkan dalam program pembelajaran. sehingga pada akhir masa kuliah mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan nilai–nilai dasar atau sikap yang direfleksikan dalam berfikir dan bertindak) sebagai calon guru sehingga memiliki pengalaman melakukan pembelajaran dan kesiapan untuk melakukan praktek pendidikan di sekolah.
Sementara itu manfaat dari micro teaching adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan dan menmbina keterampilan tertentu calon guru dalam mengajar.
2. Keterampilan mengajar terkontrol dan terlatih.
3. Perbaikan atau penyempurnaan secara cepat dapat segera dicermati.
4. Latihan penguasaan keterampilan mengajar lebih baik.
5. Saat latihan berlangsung, calon guru dapat memusatkan perhatian secara objektif.
6. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam praktek mengajar yang relaatif singkat
C. Tahapan dan prosedur micro teaching
Dalam pelaksanaan micro teaching, Asril menjelaskan beberapa siklus secara sistematis. Berikut beberapa siklus tersebut :
1. Memahami teori atau hasil penelitian ketrampilan mengajar.
2. Mendiskusikan prinsip dan ketrampilan yang harus dikerjakan.
3. Mempraktikkan ketrampilan mengajar dengan teman-teman selama 10-15 menit.
4. Direkam dengan video, dan diputar ulang sebagai bahan masukan terhadap ketrampilan yang sudah dipelajari.
5. Jika perlu, diperlihatkan kepada kelompok yamg berbeda untuk melihat kelemahan-kelemahan terdahulu.
6. Pengajaran micro ada kaitannya dengan praktik di lapangan dalam situasi yang sesungguhnya.
D. Kendala pelaksanaan micro teaching
Sebaik apapun tujuan micro teaching dan team teaching, dalam pelaksanaanya akan ada kendala. namun begitu, kendala tersebut tidak kemudian menyurutkan semangat belajar. Sebaliknya, ia semakin menggugah semangat berkreasi dan berinovasi. Secara global, kendala yang terjadi dalam pelaksanaan micro teaching sebagai berikut :
1) Keterbatasan Fasilitas
fasilitas sangat penting untuk menunjang keberhasilan sebuah program, khususnya micro teaching. Misalnya, ruang laboratorium, peralatan audio visual, dan lain-lain. Tanpa fasilitas tersebut, micro teaching tidak akan maksimal dan efektif.
2) Siswa kurang interaktif
Segala sesuatu yang baru, tentu terasa asing bagi siapapun. demikian juga yang terjadipada saat micro teaching. Perubahan ini mungkin membuat suasana belajar sebagian murid tidak nyaman, akhirnya mereka memilih dian dan pasif.
3) Kurangnya kerjasama
Kerjasama merupakan prasyarat mutlak dalam meraih kesuksesandalam hal micro teaching. Namun dalam pelaksanaannya sulit dilakukan kerja sama . Egoisme dan individualisme harus dibuang jauh-jauh. Visi dan misi bersma dlam satuan kolektivitas dan kohesivitas akan menumbuhkan saling pengertian, dan saling memiliki satu dengan yang lain tanpa ada kecurigaan.
4) Kurangnya pendanaan
Aspek dana sering kali menjadi kendala serius dalam pelaksanaan micro teaching. Tidak adanya fasilitas dan lain sebagainya , adalah karena minimnya dana
IV. KESIMPULAN
Pembelajaran micro dapat diarrtikan sebagai cara dalam melatih keterampilan keguruan atau praktik mengajar dalam lingkup kecil atau terbatas. Jumlah pesertanya sekitar 5 sampai 10 orang, ruang kelasnya terbatas, waktu pelaksanaanya berkisar antara 10 dan 15 menit, terfokus kepada keterampilan mengajar tertentu, dan pokok pembahasannya disederhanakan.
Fungsi micro teaching ialah untuk memperkuat program Pengalaman Lapangan. Berlatih micro teaching menyebabkan merasa lebih terampil serta yakin dalam melaksanakan PPL. Adapun pengajaran mikro bertujuan membekali tenaga pendidik beberapa keterampilan dasar mengajar dan pembelajaran serta memahami kapan dan bagaimana menerapkan dalam program pembelajaran.
Dalam pelaksanaan micro teaching, Asril menjelaskan beberapa siklus secara sistematis antara lain: memahami teori, mendiskusikan prinsip, mempraktekkan, direkam dengan video, dan diputar untuk intropeksi.
Adapun kendala yang terjadi dalam pelaksanaan micro teaching sebagai berikut : keterbatasan fasilitas, siswa kurang interaktif, kurangnya kerjasama, dan kurangnya pendanaan.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang kami sampaikan. Dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. oleh karena itu kritik dan saran sangat ddiperlukan demi kemaslahatan kita semua. Dan semoga kita bisa mengambil hikmahnya. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Jamal Ma’ruf. Micro Teaching dan Team Teaching. Jogjakarta: PT. DIVA Press. 2011
Sastrawijaya, A. Tresna. Pengembangan Program Pengajaran. Jakarta: PT. Rineke Cipta. 1991
Hasibuan, J.J dan Mudiono , Proses Belajar Mengaja. Bandung: Remaja Rosda Karya. 1955
http://teachingrus.blogspot.com/2011/04/manfaat-pembelajaran-micro-teaching.html
FUNGSI DAN MANFAAT MICRO TEACHING
FUNGSI DAN MANFAAT MICRO TEACHING SEBAGAI SUMBER BELAJAR
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah: Media Pembelajaran
Dosen Pengampu: Zulaikhah, M.Ag,. M.Pd
Disusun Oleh :
Syafa’atul Munawaroh (113111088)
Ahmad Multazan (113111097)
Evi Riani (113111107)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
FUNGSI DAN MANFAAT MICRO TEACHING SEBAGAI SUMBER BELAJAR
I. PENDAHULUAN
Pembelajaran mikro secara teknis bertolak dari asumsi bahwa keterampilan-keterampilan mengajar yang kompleks itu dapat terbagi menjadi unsur-unsur keterampilan yang lebih kecil. Masing-masing keterampilan dapat dilatihkan jauh lebih efektif dan efisien, apabila dibandingkan dengan pendekatan lain yang dilakukan secara global.
Melalui pembelajaran mikro, pembentukan keterampilan dapat dilakukan secara sistematik mulai dari pemahaman, perencanaan, observasi sampai dengan peragaan untuk kemudian diteruskan dengan latihan yang berjenjang (latihan terbatas). Keterampilan dasar mengajar merupakan suatu keterampilan yang menuntut latihan terprogram untuk dapat menguasainya. Agar kegiatan latihan keterampilan dasar mengajar yang dilakukan melalui pendekatan pembelajran mikro dapat berjalan dengan baik dan membuahkan hasil yang optimal maka tentu saja diperlukan perencanaan yang matang.
Dengan telah dipahaminya perencanaan pembelajaran secara utuh, maka akan memudahkan untuk melakukan proses adaptasi dalam membuat perencanaan pembelajaran secara umum, dan khususnya untuk kepentingan pembelajaran mikro, atau untuk kepentingan model pembelajaran lainnya.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian micro teaching?
B. Apa fungsi dan manfaat micro teaching sebagai sumber belajar?
C. Bagaimana tahapan dan prosedur micro teaching?
D. Apa saja kendala pelaksanaan micro teaching?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian micro teaching
Pembelajaran micro dapat diarrtikan sebagai cara dalam melatih keterampilan keguruan atau praktik mengajar dalam lingkup kecil atau terbatas. Jumlah pesertanya sekitar 5 sampai 10 orang, ruang kelasnya terbatas, waktu pelaksanaanya berkisar antara 10 dan 15 menit, terfokus kepada keterampilan mengajar tertentu, dan pokok pembahasannya disederhanakan. Pengajaran micro teaching ini merupakan teknik baru dan menjadi bagian dalam pembaruan. Pengunaan pengajaran micro teching dalam rangka mengembangkan keterampilan mengajar para calon guru, atau sebagai usaha peningkatan, adalah suatu cara baru terutama dalam sistem pendidikan guru di Negara kita.
B. Fungsi dan manfaat micro teaching sebagai sumber belajar
a. Fungsi micro teaching sebagai sumber belajar
Micro teaching ialah untuk memperkuat program Pengalaman Lapangan. Berlatih micro teaching menyebabkan merasa lebih terampil serta yakin dalam melaksanakan PPL. Hal ini didukung oleh beberapa hal di bawah ini:
1) Mahasiswa yang baik dalam micro teaching, baik juga dalam PPL.
2) Mahasiswa yang lulus micro teaching lebih trampil dalam PPL daripada yang tidak mengikuti micro teaching.
3) Mahasiswa yang telah mengikuti program micro teaching memperoleh nilai tinggi dalam PPL.
4) Micro teaching sangat bermanfaat bagi mahasiswa yang berprestasi sedang, sedangkan bagi yang kemampuannya lambat atau sangat pandai kurang bermanfaat.
5) Interaksi antara guru-siswa menjadi lebih baik pada calon guru yang telah mengikuti program micro teaching.
b. Manfaat micro teaching sebagai sumber belajar
Pengajaran mikro bertujuan membekali tenaga pendidik beberapa keterampilan dasar mengajar dan pembelajaran. Bagi calon tenaga pendidik metode ini akan memberi pengalaman mengajar yang nyata dan latihan sejumlah keterampilan dasar mengajar secara terpisah. sedangkan bagi calon tenaga pendidik dapat mengembangkan keterampilan dasar mengajarnya sebelum mereka melaksanakan tugas sebagai tenaga pendidik. Memberikan kemungkinan calon tenaga pendidik untuk mendapatkan bermacam keterampilan dasar mengajar serta memahami kapan dan bagaimana menerapkan dalam program pembelajaran. sehingga pada akhir masa kuliah mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan nilai–nilai dasar atau sikap yang direfleksikan dalam berfikir dan bertindak) sebagai calon guru sehingga memiliki pengalaman melakukan pembelajaran dan kesiapan untuk melakukan praktek pendidikan di sekolah.
Sementara itu manfaat dari micro teaching adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan dan menmbina keterampilan tertentu calon guru dalam mengajar.
2. Keterampilan mengajar terkontrol dan terlatih.
3. Perbaikan atau penyempurnaan secara cepat dapat segera dicermati.
4. Latihan penguasaan keterampilan mengajar lebih baik.
5. Saat latihan berlangsung, calon guru dapat memusatkan perhatian secara objektif.
6. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam praktek mengajar yang relaatif singkat
C. Tahapan dan prosedur micro teaching
Dalam pelaksanaan micro teaching, Asril menjelaskan beberapa siklus secara sistematis. Berikut beberapa siklus tersebut :
1. Memahami teori atau hasil penelitian ketrampilan mengajar.
2. Mendiskusikan prinsip dan ketrampilan yang harus dikerjakan.
3. Mempraktikkan ketrampilan mengajar dengan teman-teman selama 10-15 menit.
4. Direkam dengan video, dan diputar ulang sebagai bahan masukan terhadap ketrampilan yang sudah dipelajari.
5. Jika perlu, diperlihatkan kepada kelompok yamg berbeda untuk melihat kelemahan-kelemahan terdahulu.
6. Pengajaran micro ada kaitannya dengan praktik di lapangan dalam situasi yang sesungguhnya.
D. Kendala pelaksanaan micro teaching
Sebaik apapun tujuan micro teaching dan team teaching, dalam pelaksanaanya akan ada kendala. namun begitu, kendala tersebut tidak kemudian menyurutkan semangat belajar. Sebaliknya, ia semakin menggugah semangat berkreasi dan berinovasi. Secara global, kendala yang terjadi dalam pelaksanaan micro teaching sebagai berikut :
1) Keterbatasan Fasilitas
fasilitas sangat penting untuk menunjang keberhasilan sebuah program, khususnya micro teaching. Misalnya, ruang laboratorium, peralatan audio visual, dan lain-lain. Tanpa fasilitas tersebut, micro teaching tidak akan maksimal dan efektif.
2) Siswa kurang interaktif
Segala sesuatu yang baru, tentu terasa asing bagi siapapun. demikian juga yang terjadipada saat micro teaching. Perubahan ini mungkin membuat suasana belajar sebagian murid tidak nyaman, akhirnya mereka memilih dian dan pasif.
3) Kurangnya kerjasama
Kerjasama merupakan prasyarat mutlak dalam meraih kesuksesandalam hal micro teaching. Namun dalam pelaksanaannya sulit dilakukan kerja sama . Egoisme dan individualisme harus dibuang jauh-jauh. Visi dan misi bersma dlam satuan kolektivitas dan kohesivitas akan menumbuhkan saling pengertian, dan saling memiliki satu dengan yang lain tanpa ada kecurigaan.
4) Kurangnya pendanaan
Aspek dana sering kali menjadi kendala serius dalam pelaksanaan micro teaching. Tidak adanya fasilitas dan lain sebagainya , adalah karena minimnya dana
IV. KESIMPULAN
Pembelajaran micro dapat diarrtikan sebagai cara dalam melatih keterampilan keguruan atau praktik mengajar dalam lingkup kecil atau terbatas. Jumlah pesertanya sekitar 5 sampai 10 orang, ruang kelasnya terbatas, waktu pelaksanaanya berkisar antara 10 dan 15 menit, terfokus kepada keterampilan mengajar tertentu, dan pokok pembahasannya disederhanakan.
Fungsi micro teaching ialah untuk memperkuat program Pengalaman Lapangan. Berlatih micro teaching menyebabkan merasa lebih terampil serta yakin dalam melaksanakan PPL. Adapun pengajaran mikro bertujuan membekali tenaga pendidik beberapa keterampilan dasar mengajar dan pembelajaran serta memahami kapan dan bagaimana menerapkan dalam program pembelajaran.
Dalam pelaksanaan micro teaching, Asril menjelaskan beberapa siklus secara sistematis antara lain: memahami teori, mendiskusikan prinsip, mempraktekkan, direkam dengan video, dan diputar untuk intropeksi.
Adapun kendala yang terjadi dalam pelaksanaan micro teaching sebagai berikut : keterbatasan fasilitas, siswa kurang interaktif, kurangnya kerjasama, dan kurangnya pendanaan.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang kami sampaikan. Dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. oleh karena itu kritik dan saran sangat ddiperlukan demi kemaslahatan kita semua. Dan semoga kita bisa mengambil hikmahnya. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Jamal Ma’ruf. Micro Teaching dan Team Teaching. Jogjakarta: PT. DIVA Press. 2011
Sastrawijaya, A. Tresna. Pengembangan Program Pengajaran. Jakarta: PT. Rineke Cipta. 1991
Hasibuan, J.J dan Mudiono , Proses Belajar Mengaja. Bandung: Remaja Rosda Karya. 1955
http://teachingrus.blogspot.com/2011/04/manfaat-pembelajaran-micro-teaching.html
Langganan:
Postingan (Atom)