Minggu, 09 Juni 2013

RESTRUKTURISASI KURIKULUM PAI DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI

RESTRUKTURISASI KURIKULUM PAI DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Pengembangan Kurikulum Dosen Pengampu: Drs. Achmad Sudja’i, M. Ag. Disusun Oleh: Syafa’atul Munawaroh (113111088) Ahmad Fatoni (113111096) Amal Al Ahyadi (113111099) Evi Riani (113111107) Luthfia Hayatun Nisa’ (113111119) Muhamad Ansori (113111124) Eko Setiawan (113211048) Wachid Sobirin (113211078) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2013 RESTRUKTURISASI KURIKULUM PAI DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI I. Pendahuluan Kurikulum dan pembelajaran, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai suatu rencana atau program, kurikulum tidak akan bermakna manakala tidak di implementasikan dalam bentuk pembelajaran. Demikian juga sebaliknya, tanpa kurikulum yang jelas sebagai acuan, maka pembelajaran tidak akan berlangsung secara efektif. Ketika sekolah atau madrasah diberi kewenangan untuk menyusun dan melaksanakan kurikulum sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing sekolah atau madrasah, ternyata banyak menghadapi kendala terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan kurikulum tersebut, karena dalam kenyataannya distribusi tenaga yang terlatih dan memiliki keahlian dalam pengembangan kurikulum masih belum merata. Tidak heran jika mereka berusaha untuk melakukan copy paste terhadap kurikulum yang pernah dibuat oleh sekolah atau madrasah lainnya demi memenuhi tuntunan formalitas belaka. Di sisi lain, kita juga akan menghadapi era globalisasi, dalam konteks pendidikan, negara-negara yang tidak mampu menghasilkan kualitas pendidikan yang bermutu, akan tertinggal di arena kompetisi dunia. Masalah-masalah pendidikan agama Islam pun terus berkembang, di antaranya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, padahal ilmu umum dan ilmu agama itu sumbernya dari Al-Qur’an. Masalah ini menyebabkan terjadinya kemunduran pada pendidikan agama Islam. Untuk itu, pengembangan dan perbaikan sistem pendidikan atau dalam hal ini kurikulum pendidikan agama Islam harus sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yang seutuhnya. II. Rumusan Masalah A. Pengertian Kurikulum Pendidikan Agama Islam B. Problematika Kurikulum Pendidikan Agama Islam C. Restrukturisasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam dalam Menghadapi Era Globalisasi III. Pembahasan A. Pengertian Kurikulum Pendidikan Agama Islam Setiap tindak pendidikan dan pembelajaran selalu di orientasikan pada pencapaian kompetensi-kompetensi tertentu, baik berkaitan dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual intellegence), intelektual (intellectual intelligence), emosional (emosional intelligence), sosial (social intelligence), maupun kreatif (creatifity intelligence). Untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan media yang relevan dengan substansi berbagai kecerdasan tersebut. Media yang di maksud adalah kurikulum. Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata curir yang berarti pelari dan curere yang berarti tempat berpacu atau berlari, dalam sebuah perlombaan yang telah dibentuk semacam rute pacuan yang harus dilalui para kompetitor perlombaan mulai dari start sampai dengan finish. Dalam dunia pendidikan, istilah kurikulum ditafsirkan sebagai muatan dan proses, baik formal maupun informal yang diperuntukkan bagi pembelajar untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman, mengembangkan keahlian dan mengubah apresiasi sikap dan nilai dengan bantuan sekolah. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pendidikan merupakan proses yang lebih besar dari sekedar aktivitas persekolahan. Pendidikan, dengan mengesampingkan perbedaan madzhab dan orientasi, merupakan proses pengembangan sosial yang mengubah individu dari sekedar makhluk biologis menjadi makhluk sosial agar hidup bersama realitas zaman dan masyarakatnya. Sedangkan Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, ajaran agama Islam, disertai dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan demikian, kurikulum pendidikan agama Islam adalah suatu rancangan atau program studi yang berkaitan dengan materi atau pelajaran Islam, tujuan proses pembelajaran, metode dan pendekatan serta bentuk evaluasinya. Karena itu kurikulum Pendidikan Agama Islam merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (totalitas). Kurikulum pendidikan agama Islam bersumber dari tujuan pendidikan Islam, yaitu menjadikan manusia Muslim yang beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya kepada sang Khalik dengan sikap dan kepribadian bulat menyerahkan diri kepada-Nya dalam segala aspek kehidupan dalam rangka mencari keridhaan-Nya. B. Problematika Kurikulum Pendidikan Agama Islam Dalam upaya menciptakan pendidikan agama Islam yang mencerahkan, perlu adanya pemahaman secara komprehensif tentang realitas keagamaan, yang meliputi pengertian tentang agama, pemahaman keagamaan, dan sikap keagamaan. Agama pada dasarnya adalah masalah ketuhanan yang diturunkan kepada manusia untuk dijadikan way of life (pegangan hidup) yang mencakup norma-norma, prinsip-prinsip dalam menjalankan kehidupan dengan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang sangat mulia. Masalah yang cukup dilematis adalah model pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, madrasah, atau pesantren yang lebih menekankan pada pendekatan yang bersifat materiil, dan mencoba memateriilkan keberadaan Tuhan; agama itu jumlahnya banyak dan yang benar adalah agama yang dianut oleh si-A, si-B. Materi-materi yang disampaikan terlalu membebankan peserta didik, sebab pengetahuan-pengetahuan kognitif yang cenderung diberikan, sehingga kurang memperhatikan aspek spiritual yang memadai dan aspek sosial sebagai bentuk dari kesalehan sosial yang harus dimiliki oleh peserta didik. Pola pendidikan agama Islam seperti itu menurut Abd. A’la menjadikan manusia menjadi “terasing” dengan agamanya, bahkan dengan kehidupan itu sendiri. Mereka mengenal agama sebagai masalah yang hanya penuh klaim-klaim kebenaran sepihak. Sedang ajaran dasar agama Islam yang syarat dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, semisal kedamaian dan keadilan, menjadi terbengkalai, dan tidak pernah disentuh secara serius. Implikasi pemahaman agama Islam yang meninggalkan aspek nilai-nilai universal dan tidak komprehensif akan berakibat fatal terhadap sikap keagamaan yang kemudian akan mengganggu keharmonisan kehidupan beragama dan tidak adanya keseimbangan antara aspek individual dan aspek sosialnya. Di lain masalah, pola pendidikan agama Islam masih belum mampu melepaskan diri dari himpitan multi krisis yang meliputi: 1. Krisis konseptual, yang berkenaan dengan pembatasan di dalam sistem pendidikan Islam. Muncul kecenderungan untuk mempertentangkan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Selain itu, ilmu pendidikan Islam tidak didukung oleh the body of knowledge yang relefan dengan masyarakat Indonesia karena masih kuatnya pengaruh warisan pemikiran klasik pertengahan Islam dan pemikiran Barat tanpa disertai upaya riset dan pengembangan yang memadai. 2. Krisis kelembagaan, terjadinya dikotomisasi antara lembaga-lembaga yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum, sehingga berlangsung dualisme sistem pendidikan nasional yang menjadi pangkal disintegrasi dan diskriminasi dalam kebijakan pendidikan. 3. Adanya konflik antara tradisi pemikiran dan praktik pendidikan Islam dengan modernitas. Krisis ini sangat terlihat terutama di dunia pesantren (meski tidak seluruhnya) yang masih berusaha gigih menjaga jarak untuk tidak “terkontaminasi” oleh modernitas. 4. Krisis metodologi atau krisis pedagogik, terjadi akibat masih meluasnya persepsi di dalam komunitas lembaga-lembaga pendidikan, bahwa tugas pendidikan hanyalah mengisi ranah kognitif intelektual, bukan mengisi aspek pembentukan pribadi dan watak. 5. Krisis orientasi, sistem pendidikan Islam pada umumnya berorientasi pada kepentingan akhirat dan mengabaikan kepentingan duniawi. Masalah yang paling besar dalam pendidikan agama Islam saat ini adalah masalah dikotomi ilmu, dikotomi merupakan sikap atau paham yang membedakan atau memisahkan dan mempertentangkan antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum”. Terjadinya diskursus dikotomi ini mengakibatkan ilmu-ilmu aqliyah yang menjadi pilar bagi sains dan teknologi menjadi pudar, bahkan lenyap dari tradisi keilmuan dan pendidikan Islam. Pada saat yang sama, ilmu-ilmu aqliyah mengalami transmisi ke dunia Barat. Akhirnya, umat Islam pun menjadi terperangah dengan supremacy knowledge yang dikuasai dunia Barat dan mengalami ketergantungan kepada mereka dalam hampir semua aspek. Seiring dengan masalah dikotomi tersebut, berbagai partikel konsep istilah yang kurang sedap pun akhirnya muncul. Misalnya adanya sekolah agama dan sekolah umum, ilmu agama dan ilmu umum. Bahkan dikotomi itu menghasilkan kesan bahwa “pendidikan agama” berjalan tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi serta terdominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, ritual, dan eskatologis. Begitu juga sebaliknya, “pendidikan umum” hadir tanpa sentuhan agama dan bersifat positivistik-rasionalis. Selain itu, masalah kurikulum pendidikan agama Islam pun masih banyak terjadi. Dalam banyak definisi dan pengertian tentang kurikulum, akan memberikan dua kata kunci, yaitu kurikulum sebagai “isi mata pelajaran” dan kurikulum sebagai “proses pembelajaran”. Selama ini mayoritas pola rancangan dan pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam banyak memakai cara-cara yang berkesadaran Eropasentris, taruhlah dalam hal ini: 1. Pola kurikulum yang terlalu menekankan pada isi yang bertolak dari asumsi bahwa masyarakat bersifat statis. Karena itu, biasanya kurikulum ditentukan oleh sekelompok orang yang ahli, disusun secara sistematis dan logis sesuai dengan disiplin-disiplin ilmu tanpa melibatkan pendidik dan peserta didik. 2. Pola kurikulum masih menekankan anggapan bahwa peserta didik sejak lahir sudah memiliki potensi-potensi. Kurikulum dirancang dan diarahkan menyediakan dan menciptakan lingkungan atau situasi yang mendukung dan menunjang adanya potensi yang sudah ada. 3. Pola kurikulum yang menekankan perpaduan antara isi dan proses serta pengalaman belajar sekaligus. Dalam menyusun kurikulum bertolak dari masalah yang dihadapi masyarakat sebagai isi pendidikan, sedangkan proses atau pengalaman belajar peserta didik dilakukan dengan cara memerankan ilmu-ilmu dan teknologi. Kurikulum pendidikan agama Islam yang seperti itu belum mumpuni dalam menganalisis secara kritis fakta terselubung di ruang sosial, sehingga tidak berdampaknya pendidikan Islam terhadap perubahan yang lebih baik, berkeadilan, dan melindungi hak-hak orang kecil di masyarakat. Aktivitas keilmuan pendidikan agama Islam hanya terfokus dan terbatas pada ilmu kalam, falsafah, hadis, tarikh, fiqih, tafsir, dan lain sebagainya. Lembaga pendidikan Islam belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial dan humanis kontemporer dan mengawinkan atau mempertautkan dengan ilmu-ilmu keislaman, semisal antropologi, sosiologi, psikologi, dan lain sebagainya. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara ilmu-ilmu keislaman klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru yang memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial humaniora kontemporer. Komarudin Hidayat menyoroti orientasi kurikulum dan materi pendidikan agama Islam yang selama ini berjalan dianggap kurang tepat, indikatornya sebagai berikut: 1. Pendidikan agama Islam lebih ditekankan pada belajar tentang agama, yang akhirnya hanya mengetahui nilai-nilai agama Islam, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diketahuinya. 2. Tidak tertibnya penyusunan dan materi pendidikan Islam, sehingga hal-hal prinsip yang semestinya dipelajari lebih awal, tetapi justru terlewatkan. 3. Kurangnya penjelasan yang luas, mendalam, dan kurangnya penguasaan istilah-istilah pokok dalam ajaran Islam yang menyebabkan penjelasan kurang tepat dan terjadinya keterpisahan antara ajaran Islam dengan realitas perilaku pemiliknya. Maka dalam hal ini, masalah kurikulum pendidikan agama Islam mau tidak mau harus disikapi. Kurikulum pendidikan agama Islam tidak hanya diorientasikan pada wilayah-wilayah pemahaman norma-norma agama yang sering kali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, akan tetapi kurikulum tersebut juga diarahkan pada bagaimana menghadapi tren global yang sarat dengan kemajuan iptek dalam bidang informasi serta kebutuhan masyarakat yang serba kompetitif. C. Restrukturisasi Kurikulum pendidikan agama Islam dalam Menghadapi Era Globalisasi Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), restrukturisasi berarti penataan kembali (supaya struktur atau tatanannya menjadi lebih baik). Kaitannya dengan kurikulum pendidikan agama Islam, supaya ditata kembali agar kurikulum pendidikan agama Islam sesuai dengan tujuan pendidikan agama Islam dari berbagai masalah-masalah yang terjadi saat ini dalam menghadapi era globalisasi. Dalam kerangka struktur berpikir masyarakat, proses globalisasi dianggap berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai pendidikan agama Islam. Oleh karena itu, respons-respons konstruktif menjadi sebuah keharusan. Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan agama Islam yang berada dalam atmosfer modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Tindakan yang harus dihadapi oleh Muslim dalam menghadapi era globalisme ini adalah dengan adanya pendidikan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang terkait dengan sistem agama Islam. Ajaran Islam harus dioperasionalkan dalam kenyataan, sehingga akan terlihat dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah yang benar-benar mengikuti prinsip-prinsip agama Islam. Berkaitan dengan era globalisasi yang cenderung pada perubahan yang sangat cepat dan ketidakpastian ini, maka lembaga pendidikan Islam memerlukan suatu desain kurikulum yang berorientasi pada masa depan, memiliki fleksibelitas tinggi, diversifikasi keahlian, serta mudah disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Masalah-masalah pendidikan agama Islam yang harus dipecahkan dalam menghadapi era globalisasi saat ini di antaranya adalah masalah dikotomi “ilmu agama” dan ”ilmu umum”. Upaya untuk menghilangkan dikotomi ilmu ini salah satunya dengan cara merumuskan semua cabang ilmu pengetahuan (umum) harus diintegralisasikan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Artinya, ilmu-ilmu umum harus berjalan dengan sentuhan agama Islam . Begitu juga sebaliknya, ilmu-ilmu agama Islam juga harus berjalan dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak terdominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, ritual, dan eskatologis. Untuk mewujudkan gagasan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang Islami, diperlukan beberapa hal yang harus dilaksanakan, di antaranya adalah: 1. Diperlukan keberanian melakukan ijtihad dalam berbagai disiplin iptek secara bersungguh-sungguh. Ijtihad merupakan sebuah upaya untuk menembus kawasan yang tak terpikirkan. 2. Membangun kembali semangat pembaharuan. Selama ini masyarakat Islam cenderung statis dan takut menerima pembaharuan-pembaharuan, karena adanya anggapan bahwa apa yang telah dirumuskan oleh generasi terdahulu telah sempurna dan cukup lengkap untuk menjawab masalah kekinian. 3. Perlu dijalin kerja sama yang baik antara para ilmuan dengan pemerintah. Para ilmuan mencurahkan segala kemampuannya dalam mengembangkan, menguasai dan memajukan iptek modern dengan menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai pijakannya, sedangkan pemerintah memberikan jaminan kesejahteraan kepada para intelektual muslim sehingga mereka bisa mencurahkan segala kemampuannya dalam upaya mengembangkan iptek modern. 4. Hal-hal yang menghambat perkembangan iptek seperti fanatisme golongan, mistisisme yang salah serta kelemahan di bidang politik harus dihindarkan semaksimal mungkin. Selama ini, kurikulum pendidikan agama Islam adalah ajaran pokok agama Islam yang meliputi akidah (masalah keimanan), bersifat kebatinan, peserta didik diajarkan tentang keesaan Allah. Syariah (masalah keislaman), berkenaan dengan amal saleh dalam rangka menaati semua peraturan dan hukum Allah, mengatur hubungan manusia dengan Allah, dan mengatur pergaulan hidup, dan kehidupan manusia. Dan ihsan (masalah akhlak), tentang tata cara pergaulan hidup manusia. Tiga ajaran itu kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman, Islam, dan ihsan. Dari itu lahirlah ilmu tauhid, fiqih, dan ilmu akhlak. Namun konteks pendidikan agama Islam semacam itu belum sepenuhnya mampu menjadikan peserta didik memiliki keunggulan dan itegratif, sebab Islam harus dijabarkan seluas-luasnya. Kurikulum pendidikan agama Islam seharusnya bersentuhan segala aspek kehidupan manusia yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis Nabi serta penalaran logis dan hasil observasi yang kaya pengetahuan dan pengalaman hidup dalam kehidupan. Di lain masalah, model pembelajaran agama Islam lebih menekankan materi dalam aspek “pengetahuan” saja. Di sinilah terletak pentingnya jiwa ruang lingkup materi pendidikan agama Islam yang tidak hanya materi yang harus dihafalkan (cognitive learning) atau berbagai latihan keterampilan spesifik (psychomotoric training), tetapi sangat penting bahwa konsep materi pendidikan agama Islam harus disampaikan dengan susunan yang memungkinkannya untuk berfungsi sebagai masukan (input) yang dapat di proses dalam otak, sehingga akan memungkinkan terbentuknya suatu sikap apresiatif dan suatu konsep atau ide tentang pemecahan suatu masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, kurikulum pendidikan agama Islam hendaknya disusun dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang fleksibel, dinamis, efektif, dan efisien agar memungkinkan setiap peserta didik untuk berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing dan tuntutan eksternal yang dihadapinya. Dalam penyusunan kurikulum pendidikan agama Islam yang fleksibel, dinamis, efektif dan efisien, harus mengikuti 10 prinsip umum (aksioma) kurikulum yang diajukan oleh Peter F. Oliva, yaitu: 1. Perubahan adalah perlu dan diinginkan serta mendesak, melalui perubahan, bentuk-bentuk kehidupan akan terus tumbuh, berkembang, dan mengalami kemajuan. 2. Kurikulum tidak hanya sebagai refleksi dari, tetapi merupakan produk dinamika sosial masyarakat pada waktunya. 3. Perubahan kurikulum yang terjadi pada masa lampau dapat tetap ada bersamaan waktunya dengan perubahan kurikulum yang baru dilakukan. 4. Perubahan kurikulum adalah hasil perubahan diri orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan. 5. Perbaikan kurikulum akan berhasil bilamana diciptakan kerja sama dari berbagai kelompok. 6. Pengembangan kurikulum pada dasarnya adalah suatu proses pemilahan antara alternatif-alternatif dan proses pengambilan keputusan. 7. Pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan suatu proses yang terus menerus tanpa akhir. 8. Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang komprehensif. 9. Pengembangan kurikulum secara sistematis adalah lebih efektif dari tindakan “trial and error”. 10. Rencana kurikulum harus mulai dari kurikulum itu sendiri. Sebagai rencana dan program tertulis, kurikulum merupakan pedoman bagi guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kurikulum yang ideal yaitu kurikulum yang diharapkan dapat dilaksanakan dan berfungsi sebagai acuan atau pedoman guru dalam proses belajar dan mengajar. Setiap jenis kurikulum mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, berikut adalah karakteristik kurikulum pendidikan agama Islam: 1. Memiliki pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan jiwa, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia. 2. Tujuan pendidikan Islam yaitu memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah. 3. Harus sesuai dengan tingkatan pendidikan, dalam hal karakteristik, pemahaman, jenis kelamin, dan tugas-tugas kemasyarakatan yang dirancang dalam kurikulum. 4. Memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut penghidupan, dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal. 5. Tidak bertentangan dengan konsep dan ajaran Islam. 6. Rancangan kurikulum harus sesuai dengan peserta didik dan keadaan masyarakatnya. 7. Harus memilih metode dan pendekatan yang relevan dengan kondisi materi, belajar mengajar, dan suasana lingkungan pembelajaran. 8. Harus efektif, menghasilkan pendidikan yang bersifat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan. 9. Harus sesuai dengan tingkatan usia peserta didik. 10. Memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktivitas langsung. Kurikulum pendidikan agama Islam harus menjadi kekuatan (power) yang ampuh untuk menghadapi era globalisasi yang memunculkan masalah-masalah yang beraneka ragam bentuknya. Tantangan ini harus di respons agar tidak dikatakan kurikulum pendidikan agama Islam ketinggalan zaman. Rumusan kurikulum pendidikan agama Islam harus bernafaskan kekinian (up to date) untuk melakukan improvisasi dan perubahan. Kurikulum pendidikan agama Islam harus melakukan terobosan baru sesuai pola hidup masyarakat yang menitik beratkan kemajuan dan terbebas dari kebodohan dan kemiskinan. Supaya pendidikan agama Islam tidak hancur, maka proses perubahan, pengembangan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum jangan pernah berhenti. Komponen-komponen kurikulum pendidikan agama Islam harus berdasarkan tujuan pendidikan nasional yang sesuai dengan konferensi pendidikan Islam yang pertama di Mekkah (1977) yaitu mengembangkan manusia secara utuh, dan seimbang melalui jiwa, intelek, rasio, perasaan dan latihan jasmani. 1. Tujuan kurikulum pendidikan agama Islam a. Tercapainya manusia seutuhnya, karena Islam adalah agama yang sempurna, sesuai dengan firmanya QS. Al-Maidah: 3.            Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. b. Tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat, merupakan tujuan yang seimbang. Untuk mencapai tujuan ini sangat di butuhkan tidak saja ilmu agama yang sebatas ritual (spiritual) semata-mata, melainkan juga perlu ilmu umum yang berkaitan dengan kehidupan dunia. c. Menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi dan patuh terhadap perintah dan menjauhi larangan-Nya. Tujuan pendidikan Islam diproyeksikan agar hidup manusia menjadi dekat dengan sang Kholik, karena itu ia harus mengabdi setiap saat, kapan, dan di manapun. 2. Isi kurikulum pendidikan agama Islam yang sesuai konferensi Makkah Berkaitan dengan isi kurikulum (Ahmad Jayadi, 2004) menjelaskan bahwa isi kurikulum hendaknya mencerminkan pemahaman bahwa semua ilmu itu merupakan produk Allah semata, sedangkan manusia hanya menginterpretasikannya saja (QS. Al-Kahfi: 109 dan (Al-Isra’: 85). Untuk itu, isi kurikulum pendidikan agama Islam seharusnya dikembangkan dengan tiga orientasi, yang ketiganya disajikan dengan terpadu (integrated approach). a. Isi kurikulum yang berorientasi pada ketuhanan Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan ketuhanan, mengenal zat, sifat, perbuatan-Nya, dan relasinya terhadap manusia dan alam semesta. Bagian ini meliputi ilmu kalam, ilmu metafisika alam, ilmu fiqih, ilmu akhlak atau (tasawuf), ilmu-ilmu tentang al-Qur’an dan ass-Sunnah (tafsir, mustholah, linguistic, ushul fiqh, dsb). b. Isi kurikulum yang berorientasi pada sosial kemanusiaan Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan haliah pribadi manusia, baik manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk berbudaya dan makhluk berakal. Bagian ini meliputi ilmu politik, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, antropologi, sejarah, linguistic, ilmu seni, ilmu arsitek, filsafat, psikologi, pedagogis, kedokteran, perdagangan, komunikasi, administrasi, matematika, dsb. c. Isi kurikulum yang berorientasi pada kealaman Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan fenomena alam semesta sebagai makhluk yang diamanatkan dan untuk kepentingan manusia. Bagian ini meliputi ilmu fisika, kimia, pertanian, perikanan, obat-obatan, astronomi, ruang angkasa, geologi, geofisika, botani, zoology, biogenetic, dsb. Tabel isi kurikulum pendidikan agama Islam yang sesuai konferensi Makkah: Sifat-sifat Ayat Allah sebagai Qur’aniyah sumber sebagai sumber Ayat Kauniyah sebagai sumber Ketiga isi kurikulum tersebut disajikan secara terpadu, tanpa adanya pemisahan, misalnya bila membicarakan Tuhan dan sifat-Nya, akan berkaitan pula dengan relasi Tuhan dengan manusia dan alam semesta. Dengan demikian, isi kurikulum tersebut akan membicarakan hakikat Tuhan, manusia dan alam semesta. 3. Organisasi atau Strategi Kurikulum Organisasi atau strategi kurikulum merupakan petunjuk bagi para pelaksana kurikulum dalam mencapai tujuan kurikulum dan melaksanakan isi atau materi kurikulum dengan benar. Poin-poin penting dalam strategi kurikulum ini adalah: a. Tingkat dan jenjang pendidikan. Strategi kurikulum pendidikan agama Islam harus disesuaikan pada masing-masing tingkatan dan jenjang pendidikan yang ada, yaitu disesuaikan pada tingkatnya PAUD, SD, SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi. b. Metode dan teknik pembelajaran. Metode yang perlu digunakan dalam pembelajaran agama Islam, haruslah memiliki dua landasan, pertama landasan motivasional, yaitu metode pemupukan sifat individu peserta didik menerima ajaran agama Islam dan bertanggung jawab terhadap pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua landasan moral, yaitu metode yang membuat tertanamnya nilai keagamaan dan keyakinan peserta didik sehingga perbuatannya mengacu pada isi, jiwa, berakhlak karimah, dan memiliki daya tahan dalam menghadapi tantangan perubahan zaman. c. Bimbingan dan penyuluhan. Bimbingan dan penyuluhan dalam strategi kurikulum pendidikan agama Islam dapat dilakukan dengan cara guru yang berperan secara langsung melakukan pendekatan dan membimbing peserta didiknya dengan ajaran-ajaran yang baik yang membuat peserta didik lebih dapat memahami materi-materi yang disampaikan. d. Administrasi dan supervisi. Strategi kurikulum bagian administrasi dan supervisi dapat dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan Islam melalui tat usaha (TU) yang ada pada lembaga-lembaga tersebut. Dengan adanya tata usaha, sistem keuangan dan peralatan yang mendukung proses pembelajaran dalam mencapai tujuan dan isi kurikulum dapat berjalan degan baik. e. Penilaian hasil belajar. Penilaian hasil belajar tidak hanya diukur dengan instrumen tes tulis saja (kognitif), melainkan juga dapat diukur dengan non tes yang dilihat dari segi penampilan akhlak dan tindakannya (afektif dan psikomotorik). Dari hasil penilaian tersebut dapat ditentukan seberapa jauh keberhasilan proses menjalankan strategi pembelajaran dalam menyampaikan materi pembelajaran. 4. Evaluasi Kurikulum Keberhasilan sebuah kurikulum ditetapkan oleh suatu proses pembelajaran yang dapat memberikan nilai-nilai tertentu untuk mencapai keberhasilan tujuannya. Evaluasi kurikulum merupakan usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai sejauh mana kurikulum tersebut dalam mencapai tujuannya. Evaluasi kurikulum juga diperlukan untuk mengetahui efektifitas kurikulum dan dalam upaya memperbaiki serta menyempurnakan kurikulum yang ada. IV. Kesimpulan Kurikulum pendidikan agama Islam adalah suatu rancangan atau program studi yang berkaitan dengan materi atau pelajaran Islam, tujuan proses pembelajaran, metode dan pendekatan serta bentuk evaluasinya. Karena itu kurikulum Pendidikan Agama Islam merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (totalitas). Selama ini, masalah pendidikan agama Islam masih banyak terjadi, di antaranya masalah dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, model penyampaian materi yang lebih menekankan pada pengetahuan saja, dan masalah kurikulum pendidikan agama Islam, yaitu: 1. Pendidikan agama Islam lebih ditekankan pada belajar tentang agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diketahuinya. 2. Tidak tertibnya penyusunan dan materi pendidikan agama Islam. 3. Kurangnya penjelasan yang luas, mendalam, dan kurangnya penguasaan istilah-istilah pokok dalam ajaran Islam. Maka, masalah itu mau tidak mau harus disikapi. Kurikulum pendidikan agama Islam tidak hanya diorientasikan pada pemahaman norma-norma agama saja, tetapi kurikulum tersebut juga diarahkan pada bagaimana menghadapi tren global yang sarat dengan kemajuan iptek dalam bidang informasi. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam harus mengikuti 10 prinsip-prinsip umum (aksioma) yang diajukan oleh Peter F. Oliva. Restrukturisasi kurikulum pendidikan agama Islam dalam menghadapi era globalisasi dapat dilakukan dengan cara menghilangkan dikotomi ilmu yaitu merumuskan semua cabang ilmu pengetahuan (umum) itu harus diintegralisasikan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Model pembelajaran agama Islam tidak menekankan pada pengetahuan saja, tetapi juga harus menekankan pada kelakuan, sehingga akan terbentuk suatu sikap apresiatif sesuai pengetahuan agama Islam yang diketahuinya. Dan isi materi kurikulum pendidikan agama Islam harus sesuai dengan konferensi Makkah yaitu berorientasi pada ketuhanan, sosial humaniora (kemanusiaan), dan kealaman. V. Penutup Demikianlah makalah yang dapat pemakalah susun tentang restrukturisasi kurikulum pendidikan agama Islam dalam menghadapi era globalisasi. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat di harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga pembahasan makalah kali ini dapat bermanfaat untuk semuanya. Amin. DAFTAR PUSTAKA Al Zindani, Abdul Majid bin Aziz , dkk. 2002. Mukjizat Al Qur’an dan As Sunnah tentang IPTEK. Jakarta: Gema Insani Press. Aly, Hery Noer dan Munzier S. 2003. Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani. Arif, Mahmud. 2009. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS. Arifin, Zainal. 2011. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Baharuddin. dkk, 2011. Dikotomi Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Feisal, Jusuf Amir. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Furchan, Arif, dkk. 2005. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di perguruan Tinggi Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Hasan, Hamid. 2008. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Idi, Abdullah. 2009. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Karim, Muhammad. 2009. Pendidikan Kritis Transformatif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Majid, Abdul. 2012. Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Majid, Abdul. dan Dian Andayani. 2005. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004). Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Mas’ud, Abdurrachman. dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muddofir, Ali. 2011. Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Mujtahid. 2011. Reformulasi Pendidikan Islam; Meretas Mindset Baru, Meraih Peradaban Unggul. Malang: UIN-Maliki Press. Mukhtar. 2003. Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: CV Misaka Gazila. Rembangy, Musthofa. Pendidikan Transformatif. Yogyakarta: PT. Teras. 2010 Sanjaya, Wina. 2010. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik mengembangkan Kurikulum KTSP. Jakarta: Kencana. Sudja’i, Achmad. 2013. Pengembangan Kurikulum. Semarang: AKFI Media. Sugono, Dendy. dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar